Sebelum Republik Indonesia Didirikan, Dua Negara Republik Ini Sudah Berdiri di Nusantara
Republik Lanfang/ilustrasi. (Foto: tangkapan layar youtube basaroh)
Selain berbagai kesultanan dan kerajaan, sebenarnya wilayah Indonesia di masa lalu (Nusantara) pernah memiliki Pemerintahan Republik Pertama sebelum Republik Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945, yaitu Republik Depok di Jawa Barat dan Republik Lanfang di Kalimantan Barat.
Berikut dua negara republik yang pernah berdiri di wilayah Nusantara sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri:
1. Republik Depok
Republik Depok merupakan negara buatan mantan budak pribumi merdeka terdidik penguasa tanah partikelir Belanda milik Cornelis Chestelin yang memerdekakan mereka.
Depok pada abad ke-18 merupakan daerah administratif yang memiliki gemeente bestuur alias pemerintahan sipil. Penguasa pertama Depok bernama Cornelis Chastelein. Pria kelahiran Amsterdam, Belanda (10 Agustus 1657-28 Juni 1714) ini dapat dikatakan sebagai pendiri Depok pada 18 Mei 1693, setelah menguasai seluruhnya tanah di daerah itu.
De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen (bahasa Indonesia: Organisasi Pertama bagi Kristen Protestan, akronim: Depok) adalah sebuah desa otonom yang diberi status setingkat republik di Hindia Belanda. Penduduk yang mendiami wilayah Depok disebut sebagai "Kaoem Depok" atau "Belanda Depok".
Gagasan ini dicetuskan oleh pengacara asal Batavia, R. H. Kleijn pada 1871 dengan nama "Gemeente Depok". Konsep tersebut benar-benar dilaksanakan pada tanggal 14 Januari 1913.
G Jonathans adalah presiden Republik Depok yang terakhir karena pada 4 Agustus 1952 pemerintah Indonesia mengambil alih seluruh tanah partikelir Depok. Kecuali gereja, sekolah, balai pertemuan, dan lahan pemakaman, semuanya diambil alih dikuasai pemerintah dengan kompensasi ganti rugi sebesar Rp 229.261,26.
2. Republik Lanfang
Republik Lan Fang (Kongsie Lanfang) adalah nama sebuah negara Hakka (salah satu kelompok Tionghoa Han yang terbesar di Republik Rakyat Tiongkok)
Sejak tahun 1777 hingga 1884 Republik Lan Fang didirikan oleh Low Fang Pak atau kadang disebut Luo Fangbo, dan sudah berdiri di Kalimantan Barat tepatnya di Kota Mandor, Kabupaten Landak tidak jauh dari Pontianak (kini ibukota proinsi Kalimantan Barat), sampai akhirnya dibubarkan oleh Belanda pada tahun 1884, jauh sebelum Republik Indonesia berdiri.
Baik Kesultanan Sambas maupun Mempawah tidak mempersoalkan bagaimana cara para imigran dari Cina itu mengatur diri mereka sendiri, juga tidak menerapkan macam-macam aturan dalam pekerjaan mereka, yakni menambang emas.
Pihak kesultanan hanya meminta masing-masing kongsi itu menyetor 1 kilogram emas tiap bulannya. Memasuki tahun 1770, kongsi-kongsi masyarakat Cina yang jumlahnya telah bertambah menjadi 10 kelompok mulai melakukan aksi pembangkangan.
Mereka menolak menyerahkan 1 kilogram emas per bulan kepada kesultanan, dan hanya bersedia menyetor separuh saja dari kesepakatan sebelumnya (Abang Ishar, Sejarah Kesultanan Melayu Sanggau, 2016:85). Keberanian orang-orang Cina melakukan perlawanan salah satunya disebabkan karena kehidupan ekonomi mereka yang sudah lebih mapan ketimbang rata-rata orang Melayu maupun Dayak.
Kaum pendatang ini pada akhirnya benar-benar terlibat peperangan dengan warga lokal dan menewaskan sejumlah pejabat kesultanan dari Suku Dayak. Insiden ini membuat pihak kesultanan habis kesabaran, terutama Sambas.
Pemimpin Sambas saat itu, yakni Sultan Umar Aqamaddin II, kemudian mengirimkan pasukan untuk membasmi aksi pemberontakan tersebut. Terjadi pertempuran dalam skala kecil selama 8 hari sebelum akhirnya kelompok-kelompok imigran Cina tersebut menyerah karena merasa kalah kuat.
Sultan Sambas ternyata tidak menjatuhkan hukuman berat kepada orang-orang Cina yang sebenarnya telah terbukti membangkang itu. Mereka diperbolehkan kembali bekerja di pertambangan seperti biasa namun tetap harus menyetor upeti sebanyak 1 kilogram emas tiap bulannya kepada kesultanan.
Hingga tahun 1776, jumlah kongsi masyarakat Cina yang ada di Kalimantan Barat sudah bertambah menjadi 14 kelompok. Dari 14 kongsi itu, 12 kelompok di antaranya berada di wilayah Kesultanan Sambas dengan pusatnya di Montraduk.
Sedangkan 2 kongsi lainnya ada di wilayah Kesultanan Mempawah dan berpusat di Mandor. Jumlah orang-orang Cina sendiri sudah lebih dari 20 ribu orang pada 1770. Ke-14 kongsi tersebut kemudian membentuk aliansi dalam satu organisasi bernama Hee Soon pada 1777. Tujuannya untuk memperkuat persatuan sekaligus meminimalisasi terjadinya polemik.
(Damar Pratama Yuwanto/berbagai sumber)
Post a Comment