Inilah Kisah Aisin Gioro Puyi, Kaisar Terakhir di China
Puyi pada tahun 1944. |
Puyi naik takhta menjadi kaisar Dinasti Qing menjelang detik detik akhir keruntuhannya ketika usianya masih tiga tahun dan saat itu ia masih diwakili oleh ayahnya. Karena semua orang tahu kalau dinasti itu akan segera hancur di tangan revolusioner Kuo Min Tang keluarga bangsawan Manchu memanfaatkannya sebagai tameng.
Menjadi kaisar bukan hal mudah dan menyenangkan. Dari kaisar terakhir Tiongkok (China), kaisar boneka Jepang, hingga jadi rakyat biasa, Puyi bagai dipermainkan oleh nasib.
Puyi atau lengkapnya Aisin-Gioro Puyi lahir pada 7 Februari 1906. Pada bulan Desember 1908, ia dinobatkan sebagai kaisar Dinasti Qing atau saat usianya baru dua tahun setelah kematian Kaisar Guangxu.
Ketika masih kecil dia menjadi anak yang sangat arogan dan dimanja oleh dayang dayang Istana. Dia tak didik untuk menjadi penguasa yang kompeten.
Puyi dipisahkan dari keluarganya dan hanya pengasuhnya Wang Lianshou yang diizinkan mengikutinya ke Kota Terlarang (Forbidden City). Rupanya, ia menjadi kaisar di saat yang tidak tepat. Kala itu, Kekaisaran Tiongkok sedang mengalami penurunan. Terbukti, di tahun 1912 Puyi dipaksa untuk melepaskan takhtanya.
Kaisar muda menghabiskan sebagian besar waktunya dengan para kasim, yang melakukan segalanya mulai dari mengajarinya hingga membantu berpakaian. Seiring dengan berjalannya waktu, Puyi muda menyadari kekuasaan yang dimiliki atas para kasim ini.
Dalam otobiografinya, Puyi menceritakan bahwa dia biasa menembak para kasim dengan senapan anginnya. Mantan kaisar itu bahkan pernah memerintahkan kasim untuk memakan kotoran untuk menguji kesetiaannya. Pengasuh Wang adalah satu-satunya orang yang bisa menahan segala kelakuan Puyi.
Ketika Puyi berusia delapan tahun, Ibu Suri Longyu, penguasa de facto Dinasti Qing, mengusir Wang dari Kota Terlarang. Puyi kabarnya menangis sampai tertidur setelah pengasuhnya pergi.
Pada Revolusi Xinhai 1911, Puyi akhirnya diusir dari Forbidden City bersama keluarga bangsawan Manchu lain oleh orang orang Kuo Min Tang dan dianggap berkhianat karena bekerja sama dengan Jepang menjadi kaisar boneka di Manchuria. Puyi sendiri sebenarnya sudah bersahabat dengan Jepang, dia pernah mengirimkan bantuan ke Jepang saat terjadi gempa bumi.
Puyi tidak bisa lagi menjabat sebagai kaisar dan istana kekaisaran harus mencabut kekuasaannya. Namun mereka diizinkan untuk tinggal di Kota Terlarang dan diurus oleh Republik. Mantan kaisar muda itu tidak mengetahui pengunduran dirinya sampai kematian Ibu Suri Longyu pada tahun 1913.
Mantan Perdana Menteri Qing Yuan Shikai, yang menjadi Presiden Republik Tiongkok, mengunjungi Kota Terlarang untuk memberikan penghormatan. Saat itulah Puyi menilai dari sikap Yuan bahwa Yuan memiliki otoritas lebih dari dia. Pada tahun 1915, Yuan menyatakan dirinya sebagai kaisar Tiongkok tetapi turun takhta setelah 83 hari karena ditentang rakyat. Yuan meninggal pada bulan Juni 1916.
Setelah kematian Yuan Shikai, Tiongkok mulai terpecah menjadi kelompok-kelompok independen yang dipimpin oleh jenderal militer setempat. Ini menandai dimulainya era panglima perang. Pada Juli 1917, panglima perang Zhang Xun, seorang loyalis Qing, mengembalikan Puyi ke takhta untuk kedua kalinya.
Namun, pemerintahan kedua Puyi dengan cepat berakhir setelah ledakan tiga bom kecil di Kota Terlarang. Anggota Republik Tiongkok melancarkan serangan itu sebagai unjuk kekuatan terhadap Zhang. Tentara Qing dengan cepat menyerah kepada pasukan republik.
Pernikahan Puyi
Pada Maret 1922, istana bangsawan mulai mempersiapkan pernikahan Puyi. Ia diminta untuk memilih salah satu wanita dari beberapa foto anak perempuan keluarga bangsawan Qing untuk dipilih sebagai permaisuri.
Puyi awalnya memilih Wenxiu dari keluarga Bordered Yellow Banner, tetapi pengadilan bangsawan menolak keputusan itu. Pasalnya, Wenxiu baru berusia 12 tahun.
Puyi kemudian memutuskan untuk menikahi Wanrong, Permaisuri Xuantong dari klan Plain White Banner dari Manchu. Tidak hanya itu, Puyi juga tetap menjadikan Wenxiu sebagai permaisuri kedua.
Pada tanggal 23 Oktober 1924, panglima perang Feng Yuxiang memimpin kudeta di Beijing dan menguasai Republik Tiongkok. Dia mengusir Puyi dan semua bangsawan dari Kota Terlarang pada bulan Mei 1925.
Peristiwa ini memaksa Puyi melarikan diri ke Tianjin, di mana pasukan Jepang membawanya. Puyi menjadi bosan dengan konsesi Jepang dan mulai membeli barang-barang mewah seperti piano, jam tangan, dan radio sebagai hiburan.
Selama periode ini, Wanrong mulai merokok opium dan menjadi kecanduan. Sang permaisuri utama bahkan tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas dasar di istana dan semakin membenci Puyi.
Di sisi lain, Wenxiu merasa semakin diabaikan oleh Puyi dan memilih melarikan diri dari Tianjin. Ia mengajukan gugatan cerai pada tahun 1931 dan diterima oleh Puyi.
Setelah itu, Puyi diangkat menjadi kaisar boneka Jepang, naik takhta untuk ketiga kalinya
Menyusul invasi Jepang ke Manchuria pada September 1931, Jenderal Doihara Kenji mengunjungi Puyi di Tianjin. Ia mengusulkan untuk mengangkatnya sebagai Kaisar Manchukuo. Anggota istana bangsawan dan Wanrong berulang kali mencoba meyakinkan Puyi untuk menolak usulan Doihara.
Namun, sepupu Puyi, Aisin Gioro Xianyu, meyakinkannya untuk menerima persyaratan Jepang. Sang sepupu adalah seorang mata-mata Jepang yang lebih dikenal sebagai Kawashima Yoshiko. Pada tanggal 1 Maret 1932, Puyi diangkat sebagai pemimpin Manchukuo.
Meskipun dijanjikan sebuah kerajaan di Manchuria, apa yang menunggunya adalah negara boneka yang tidak dapat dia kendalikan. Jepang menetapkan Puyi sebagai kepala eksekutif dan memindahkannya ke tempat yang sebelumnya merupakan kantor Administrasi Pajak Garam di Changchun.
Selama menjadi kaisar di Manchuria dia sangat tidak becus dengan membiarkan rakyat Manchuria kelaparan dan Rakyat China yang lain berperang dengan Jepang tapi dia malah hidup enak di bawah ketek penjajah Jepang. Sangat beruntung dia diperlakukan baik ketika orang China lain dibantai habis habisan oleh Jepang.
Meskipun Puyi menjadi kaisar, dia tetap menjadi boneka pemerintah Jepang dan tidak memiliki otoritas yang sah. Satu-satunya tugasnya adalah menandatangani dan menegakkan kebijakan Jepang di Manchukuo. Pecahnya Perang Tiongkok-Jepang Kedua menjelaskan kepada Puyi bahwa Jepang tidak berniat memulihkan Dinasti Qing. Ketika menaklukkan Nanjing dan Shanghai, boneka Jepang baru diciptakan alih-alih menambahkan lebih banyak wilayah ke rezim Manchukuo Puyi.
Meskipun Jepang kalah di Atol Midway dan Laut Filipina, media Jepang terus menggambarkan militer mereka sebagai pemenang. Karena itu, Puyi tidak menyadari kejatuhan Jepang sampai tahun 1944.
Pada akhir Perang Dunia II 1945, Soviet menyerang Manchuria yang saat itu dikuasai Jepang dan Puyi ditangkap.
Karena pasukan Manchukuo dan Jepang tidak memiliki peluang melawan Soviet, Puyi berusaha melarikan diri ke Korea. Namun, karena kekacauan yang disebabkan oleh pemukim dan tentara Jepang yang mencoba naik kereta, kereta itu gagal mencapai Korea.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Puyi secara resmi turun takhta, yang menandai berakhirnya Manchukuo.
Puyi mencoba melarikan diri untuk kedua kalinya, kali ini ke Jepang, dengan pesawat di Mukden. Puyi terpaksa harus memilih siapa yang akan dibawa karena keterbatasan tempat duduk. Atase Rumah Tangga Kekaisaran, Yasunori Yoshioka, meyakinkan Puyi untuk meninggalkan Wanrong dan wanita lainnya di keluarganya. Ia menganggap mereka tidak dapat menghadapi bahaya penangkapan oleh Soviet.
Puyi berhasil mencapai Mukden, tempat pesawat Jepang telah menunggu, tetapi Soviet menangkapnya sebelum dia dapat menaiki pesawat kedua.
Stalin memutuskan untuk membiarkan Puyi tetap hidup. Meskipun ia tahanan Soviet, Puyi masih diperlakukan dengan hormat dan diizinkan untuk memiliki beberapa pelayan.
Chang Kai-Shek berulang kali meminta Soviet mengembalikan Puyi ke Tiongkok untuk diadili, tetapi Stalin menolak karena Partai Komunis Tiongkok. Sepupu Puyi, Kawashima Yoshiko, ditangkap oleh Kuomintang dan dieksekusi di depan umum karena pengkhianatan tingkat tinggi.
Namun keberuntungan lagi lagi di tangan Puyi, tak biasanya kaum komunis yang anti feodalisme baik pada kaum bangsawan, apalagi kaum Bolshevik Rusia dulu pernah membantai keluarga Tsar Nicholas 2. Soviet malah membebaskan Puyi dan mendeportasinnya ke China.
Karena tidak cukup bukti untuk menghukum Puyi sebagai penjahat Perang Dunia II, Hakim Sir William Webb memerintahkan Puyi keluar dari ruangan. Frustrasi akan kesaksian mantan kaisar itu, hakim menyatakan pemeriksaan sidang lebih lanjut sama sekali tidak berguna.
Meski menjadi kolaborator Pemerintah Jepang, Puyi tidak pernah diadili sebagai penjahat perang. Di Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh, Puyi diuji sebagai saksi. Ia mengeklaim bahwa ditahan oleh Jepang di luar keinginannya. Jelas bagi para hakim bahwa Puyi mengatakan apa yang diperlukan untuk melindungi dirinya sendiri.
Lagi lagi keberuntungan ada di tangan Puyi saat itu China yang dilihat Puyi pasca- Perang Dunia II berbeda dengan China yang dulu ia lihat ketika masih anak anak.
Sekembalinya ke China, pemimpin republik Mao Zedong tak mengeksekusi mati Puyi dan memberikannya tempat tinggal yang layak meski tak seperti istana yang biasa ia tinggali.
Mao Zedong berpendapat jika keruntuhan dan kekacauan masa akhir Dinasti Qing bukan salah Puyi karena saat itu dia masih balita, tapi bekerja sama dengan penjajah Jepang adalah dosa yang mematikan. Untuk mengubah mental feodal Puyi, Mao memberikan pendidikan pada Puyi agar bisa menjadi seorang komunis sejati.
Puyi kembali ke Beijing pada 1959 dan mendapatkan pekerjaan sebagai asisten di Kebun Raya Beijing, meski bekerja sebagai tukang kebun dia pernah tersesat di jalan. Sang mantan kaisar juga sering mengunjungi Kota Terlarang yang telah menjadi museum dan memandu turis berkeliling istana. Untuk mengunjungi bekas istananya, ia pun harus merogoh koceknya, ironis memang.
Pada tahun 1962, Puyi menikah dengan Li Shuxian, seorang perawat rumah sakit Tiongkok. Tidak seperti istri-istrinya yang lain, Puyi dan Li Shuxian tampaknya memiliki hubungan cinta sampai kematiannya.
Dua tahun kemudian, Puyi mulai bekerja sebagai editor di departemen sastra Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok. Puyi terus membuktikan kesetiaannya kepada Partai Komunis dengan selalu memuji pemerintahan Mao dalam wawancara, artikel, dan otobiografinya.
Pada 17 Oktober 1967, pada usia 61 tahun, Puyi meninggal di Rumah Sakit Anti-Imperialis Beijing karena kanker ginjal dan penyakit jantung.
Kombinasi kecaman dan rasa kasihan muncul ketika membaca kisah hidup kaisar Tiongkok yang terakhir ini. Puyi adalah kaisar termuda Tiongkok pada usia dua tahun, menjabat sebagai kaisar Dinasti Qing selama empat tahun, dan menjadi pemimpin Manchukuo selama 13 tahun.
Sebagai pemimpin, Puyi tidak pernah memiliki otoritas yang sah. Sejak usia muda, dia dipersiapkan untuk menjadi penguasa boneka dan terus dimanipulasi oleh berbagai rezim demi keuntungan mereka.
Banyak yang bingung, Puyi sangat sial dalam hidupnya karena penuh tragedi atau justru beruntung karena berkali kali selamat dari maut yang menantinya?
Beruntung karena ia masih bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri, hak istimewanya dan keturunan klan Aishin Gioro juga relatif sama seperti saat mereka jadi klan utama Tiongkok.
Kalau keturunan Kaisar Wilhelm II baru bisa balik dan tidak bisa berpolitik setelah Kaisar Wilhelm II meninggal, klan Aishin Gioro digotong Puyi balik ke kancah politik Tiongkok saat ia masih hidup. Jabatan ia sebagai anggota DPR-nya RRT angkatan ketiga.
Puyi juga masih menjabat sebagai anggota DPR-nya RRT saat ia meninggal, itu sesuatu yang wow mengingat tidak ada kaisar terakhir dinasti dalam sejarah dunia yang mampu balik menjadi elite politik di negara bekas kekuasaannya lagi setelah dinastinya dijatuhkan.
Puyi mengaku jika dia merasa lebih bahagia hidup sebagai tukang kebun daripada ketika dia menjadi kaisar yang tak bertanggung jawab seperti dulu. Dia hidup melewati berbagai era, era Dinasti Qing, revolusi industri, dan imperlisme modern, dan Perang Dunia I dan II, tapi satu satunya keinginan terbesarnya adalah hidup dengan tenang.
Pada akhirnya kaisar tersebut meninggal tanpa memiliki anak... The Last Emperor.
(Damar Pratama Yuwanto/berbagai sumber)
Post a Comment