Kisah Unik Pemberontakan Boxer, Ketika 8 Negara Beraliansi Mengeroyok Cina
Pemberontakan Boxer adalah pemberontakan di Tiongkok (Cina) pada zaman Dinasti Qing dari November 1899 sampai 7 September 1901, terhadap kekuasaan asing di sektor perdagangan, politik, agama, dan teknologi. Ini merupakan gerakan yang mendukung pemberontakan petani pada 1900-an yang berupaya mengusir semua orang asing dari Cina.
Pada mulanya pemberontakan disebabkan oleh bencana alam hingga imperialisme asing pada akhir abad ke-19 muncul ketegangan yang menyebabkan orang Tionghoa berbalik melawan "kekuatan asing" yang berebut kekuasaan di Tiongkok.
Okupasi negara-negara Barat seperti Jerman di Shandong, Perancis di selatan Cina, hingga Inggris di Lembah Yangtze, yang dianggap mengeruk sumber daya ekonomi secara besar-besaran, semakin membuat situasi sulit. Kelompok Boxer pertama kali muncul di Shandong, bertepatan dengan kedatangan Jerman di wilayah itu. Saat Jerman tiba, Sungai Kuning meluap, membikin tanggul jebol dan banjir besar, sebelum akhirnya kekeringan melanda selama dua tahun dan dianggap sebagai bentuk kemarahan Kaisar Giok terhadap orang Cina yang membiarkan kedatangan orang asing.
Wilhelm II menyatakan niatnya untuk merebut wilayah di Tiongkok, yang memicu "perebutan konsesi" di mana Britania, Prancis, Rusia, dan Jepang juga mengamankan lingkup pengaruh mereka sendiri di Tiongkok. Jerman memperoleh kendali eksklusif atas pinjaman pembangunan, pertambangan, dan kepemilikan kereta api di provinsi Shandong.
Rusia memperoleh pengaruh atas semua wilayah di utara Tembok Besar, ditambah pembebasan pajak sebelumnya untuk perdagangan di Mongolia dan Xinjiang, pengaruh ekonomi Jerman atas provinsi Fengtian, Jilin, dan Heilongjiang. Prancis memperoleh pengaruh Yunnan, sebagian besar provinsi Guangxi dan Guangdong, Jepang atas provinsi Fujian. Britania memperoleh pengaruh dari seluruh Lembah Sungai Yangtze (didefinisikan sebagai semua provinsi yang berbatasan dengan sungai Yangtze serta provinsi Henan dan Zhejiang), sebagian provinsi Guangdong dan Guangxi dan sebagian Tibet. Hanya permintaan Italia untuk provinsi Zhejiang yang ditolak oleh pemerintah Tiongkok.
Ini tidak termasuk wilayah sewa dan konsesi di mana kekuatan asing memiliki otoritas penuh. Pemerintah Rusia secara militer menduduki zona mereka, memberlakukan hukum dan sekolah mereka, menyita hak pertambangan dan penebangan, menempatkan warganya, dan bahkan mendirikan administrasi kota mereka di beberapa kota.
Setelah pemerintah Jerman mengambil alih Shandong, banyak orang Tionghoa khawatir bahwa para misionaris asing dan mungkin semua aktivitas Kristen adalah upaya imperialis untuk "mengukir melon", yaitu menjajah Tiongkok sepotong demi sepotong.
Seorang pejabat Tiongkok mengungkapkan permusuhan terhadap orang asing secara singkat, "Singkirkan misionaris dan opium Anda dan Anda akan diterima." Awal gerakan kelompok Petinju bertepatan dengan Reformasi Seratus Hari (11 Juni – 21 September 1898), di mana pejabat Tiongkok yang progresif, dengan dukungan dari misionaris Protestan, membujuk Kaisar Guangxu untuk melembagakan reformasi besar-besaran.
Ini mengasingkan banyak pejabat konservatif, yang penentangannya membuat Ibu Suri Cixi campur tangan dan membatalkan reformasi. Kegagalan gerakan reformasi mengecewakan banyak orang Tionghoa terpelajar dan dengan demikian semakin melemahkan pemerintahan Qing. Ibu Suri merebut kekuasaan dan menempatkan kaisar reformis di bawah tahanan rumah. Krisis nasional secara luas dianggap disebabkan oleh "agresi aliansi asing" di dalam negara berdaulat. Meskipun kemudian mayoritas orang Tionghoa sangat berterima kasih atas tindakan aliansi tersebut.
Pada 1897 hingga 1898, wilayah China Utara mengalami bencana kekeringan yang membuat para petani kehilangan sumber penghidupannya. Pada saat itu, pemerintah Qing sangat korup, rakyat jelata sering menghadapi pemerasan dari pejabat pemerintah dan pemerintah tidak memberikan perlindungan dari tindakan kekerasan kelompok Petinju Boxer,
Kondisi ini membuat pemberontak yang muak menarik ribuan petani—khususnya berusia muda—miskin, dikenal memiliki kemampuan bela diri yang unggul. Menyalahkan orang-orang asing atas penderitaan yang ada. Belum lagi banyak bandit yang memeras uang warga dan para pejabat lokal tidak berdaya untuk menekannya. Keadaan tersebut membuat orang-orang Boxer meningkatkan keamanan mereka di provinsi-provinsi Cina Utara, wilayah Provinsi Chi-Li yang sekarang merupakan wilayah Hebei dan Beijing. Kesuksesan Barat dalam menguasai Tiongkok, tumbuhnya sentimen anti-imperialis, dan kondisi cuaca yang ekstrim, memicu pergerakan tersebut.
Pemberontak Boxer atau Yihequan disebut-sebut punya mantra sekaligus jimat yang dapat membuat tubuh kebal dari segala serangan termasuk dari peluru tajam. Bahkan,
mereka seringkali mengklaim dirasuki oleh dewa-dewa lokal yang memberi
mereka kekuatan untuk menyembuhkan orang sakit. Kehadiran Boxer didorong
karena kemiskinan yang merajarela di wilayah Cina Utara.
Kekeringan yang diikuti banjir di provinsi Shandong pada tahun 1897–1898 memaksa para petani mengungsi ke kota dan mencari makanan. Berbeda dengan Pemberontakan Baguadao—yang menyerang Dinasti Qing, orang-orang Boxer—dan para petani—tidak menargetkan pemerintahan, melainkan masyarakat asing. Pemicunya yaitu kemiskinan yang melanda di daratan Cina Utara.
Ketidakstabilan negara yang dipercaya disebabkan oleh bangsa asing, mendorong para petani yang memiliki latar belakang bela diri tradisional untuk menggalang gerakan pemberontakan. Pemberontakan memuncak pada tahun 1900, ketika China bagian utara mengalami kekeringan panjang dan dahsyat. Para pemberontak yang kemudian disebut oleh bangsa Barat sebagai orang Boxer, menyebarkan selebaran yang berisi ajakan untuk membunuh semua orang asing dan orang China yang berkaitan dengan bangsa asing. Motif agama juga muncul dalam pemberontakan.
Mereka menyerang orang asing yang membangun jalur kereta api dan melanggar Feng Shui, dan juga orang Kristen yang dianggap bertanggung jawab untuk dominasi asing di Tiongkok. Pada Juni 1900, Yihequan menyerang Beijing dan membunuh 230 orang non-Tionghoa. Banyak Tionghoa Kristen, orang Katolik terbunuh di provinsi Shandong dan Shanxi sebagai bagian dari pemberontakan.
Pada Oktober 1898, sekelompok Yìhéquán (Petinju) menyerang komunitas Kristen di desa Liyuantun di mana sebuah kuil Kaisar Giok telah diubah menjadi gereja Katolik. Perselisihan dengan gereja sejak 1869, ketika kuil itu diberikan kepada penduduk desa yang beragama Kristen. Kejadian ini menandai pertama kalinya Yìhéquán menggunakan slogan "Dukung Qing, hancurkan orang asing" ("扶清滅洋 : fu Qing mie yang ") yang kemudian menjadi ciri khas mereka.
Mereka mengatakan bahwa dewa akan mengakhiri bencana kekeringan apabila orang asing telah dimusnahkan. Perjanjian Tientsin (Tianjin) dan Konvensi Peking, yang ditandatangani pada tahun 1860 setelah Perang Candu Kedua, telah memberikan kebebasan kepada misionaris asing untuk berkhotbah di mana pun di Tiongkok dan membeli tanah untuk membangun gereja.
Pada tanggal 1 November 1897, sekelompok pria bersenjata yang mungkin adalah anggota Perkumpulan Pedang Besar menyerbu kediaman seorang misionaris Jerman dari Perhimpunan Sabda Ilahi dan membunuh dua pendeta. Serangan ini dikenal sebagai Insiden Juye. Ketika Kaisar Wilhelm II menerima berita tentang pembunuhan ini, dia mengirim Skuadron Asia Timur Jerman untuk menduduki Teluk Jiaozhou di pantai selatan semenanjung Shandong. Popularitas mereka pun meroket tajam. Hal yang mencolok: publik percaya bahwa mereka kebal.
Tak sekadar menyasar orang-orang asing, sentimen Boxer juga menargetkan orang-orang yang beragama Kristen. Bagi mereka, orang-orang Kristen dinilai telah merusak tatanan keagamaan di Cina Utara. Pada pengujung 1899, kelompok Boxer menyerang orang-orang Cina Kristen dan misionaris dari Barat. Eskalasi konflik meluas hingga Beijing: gereja dibakar dan orang-orang dibunuh.
Kekacauan yang melanda Cina mendorong negara-negara Barat, seperti AS, Australia, serta beberapa negara Eropa menerjunkan pasukan gabungan guna menumpas pemberontakan Boxer. Pada 7 September 1901, tepat hari ini 119 tahun lalu, upaya itu membuahkan hasil: konflik berhenti dan pemerintahan Cina, diwakili Dinasti Qing, setuju membayarkan repatriasi kepada pihak asing.
Liga Keselarasan dan Keadilan) adalah organisasi rahasia Tiongkok yang dikenal sebagai pemicu Pemberontakan Boxer pada masa Dinasti Qing. Dengan slogan "扶清灭洋" ("Dukung Qing, hancurkan Barat"), mereka terus beraksi.
Pada awalnya organisasi ini bermusuhan dengan Dinasti Qing, mereka merupakan perkumpulan rahasia untuk melawan Dinasti Qing yang terinspirasi dari gerakan Seroja Putih seperti: Sanhehui (Perhimpunan Tiga Harmoni), Gelaohui (Perkumpulan Saudara Tua), Dadao Hui (Perhimpunan Golok Besar) dan Yihequan (Kepalan Tangan Keselarasan dan Keadilan) atau lebih dikenal oleh Barat sebagai Boxer atau Petinju.
Namun setelah mendapatkan dukungan dan memperoleh dari Maharani Cixi yang juga tak menyukai orang barat ikut campur dalam kekuasannya,kemudian Boxers beralih menjadi milisi tambahan yang mendukung Dinasti Qing melawan orang asing.
Gerakan rahasia ini menjadi gerakan besar yang beranggotakan 50.000 hingga 100.000 orang. Organisasi ini melancarkan aksi-aksi anti-asing. Organisasi ini sangat tidak menyukai orang asing (termasuk orang Jepang) dan orang Kristen. Di negara-negara Barat, organisasi ini dikenal dengan julukan "boxer" karena anggota-anggotanya menguasai seni bela diri kung fu yang disebut "Chinese boxing" pada masa itu.
Orang-orang Barat yang kian terdesak meminta bantuan pasukan kepada aliansi asal mereka. Pada pertengahan Agustus 1900, sekitar 19.000 tentara sekutu Inggris tiba di China. Ada delapan negara yang kala itu beraliansi untuk meredam Pemberontakan Boxer, yaitu Jepang, Italia, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Austria-Hongaria, Jerman, dan Rusia.
Bantuan pasukan dari aliansi negara-negara Barat tersebut mampu meredam pemberontakan yang telah berlangsung berminggu-minggu. Pemberontakan Boxer secara resmi berakhir dengan penandatanganan Protokol Boxer pada 7 September 1901 Pada bulan Desember 1897,
Nama “Boxer” sendiri adalah sebutan akademisi Barat untuk mereka yang tergabung dalam kelompok militan bernama Yihequan Yihequan atau Kepalan Tangan Keselarasan dan Keadilan , Diplomat, penduduk, tentara asing, serta beberapa Tionghoa Kristen melarikan diri ke Legation Quarter dan tinggal selama 55 hari hingga Aliansi Delapan Negara datang dengan 20.000 tentara untuk memadamkan pemberontakan.
Protokol Petinju pada 7 September 1901 mengakhiri pemberontakan dan mengenakan sanksi yang berat terhadap Dinasti Qing, seperti ganti rugi sebesar 450 juta tael perak. Adanya protokol ini sangat mempengaruhi kondisi politik, ekonomi, dan sosial pemerintah dan penduduk Tiongkok pada saat itu.
Pemerintahan tidak lagi dipercaya dan terjadi kenaikkan pajak yang besar menyebabkan Dinasti Qing semakin melemah dan akhirnya dijatuhkan melalui Revolusi Xinhai.
(Damar Pratama Yuwanto)
Post a Comment