Profesor di Cina Klaim Para Wibu dan Otaku Lebih Malas Menikah Dibandingkan Gamer!
Wibu/ilustrasi (foto: tangkapan layar youtube). |
Kebetulan ataupun tidak, para gamer biasanya juga adalah wibu ataupun sebaliknya, meski tidak selalu stereotipe ini masih melekat, bahkan di masyarakat Jepang sendiri. Wibu merupakan seseorang yang terobsesi secara berlebihan pada Jepang dengan kata lain Japanofilia.
Mereka mencintai semua hal yang berbau Jepang. Terutama anime.
Sampai-sampai ada istilah waifu atau kalau bahasa Inggris, wife. Worst case scenario-nya, ada yang sampai menganggap diri mereka sebagai orang Jepang.
Ada sebuah penelitian baru-baru ini yang mengeklaim jika seorang wibu, terutama yang juga merupakan gamer, lebih antisosial daripada para gamer mainstream biasa. Gamer merupakan seseorang yang hanya suka bermain game tidak harus bertema anime, di console, PC, atau mobile.
Mengapa gamer diidentikkan dengan wibu atau weeabo? Karena anime-anime Jepang juga mengeluarkan game mereka sendiri. Wibu suka hal-hal berbau Jepang. Maka dari itu mereka juga bermain game dari anime-nya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dari seorang wibu atau gamer, hanya saja gelagat dan penampilan mereka yang aneh dan kerjaan mereka yang seperti pengangguran, memang seperti pengangguran, selalu di kamar dan tidak mau keluar jadi terasa aneh bagi orang awam.
Mereka juga bertengkar seolah memegang pedang dan berteriak dengan bahasa Jepang seperti 'ikkuzo', 'tatakae', 'shinee', dan itu dilakukan di depan umum. Itu semua bisa dilihat di jalan-jalan, geli bukan?
Portal SupChina belum lama ini menerbitkan artikel hasil penelitian seorang profesor sosiologi asal Cina bernama Li Ting mengenai penurunan secara konstan angka kelahiran yang terjadi di negaranya. Profesor itu mencari tahu mengapa anak muda mulai kehilangan minat untuk membina rumah tangga alias berkeluarga.
Menurut penelitian Profesor Li, mereka yang bermain video game kompetitif cenderung memilih menikah, sedangkan mereka yang menonton anime cenderung menyendiri. Selain itu, profesor itu juga mengungkapkan salah satu teorinya tentang keterlibatan orang-orang yang disurvei-nya dengan "subkultur".
Profesor Li mengatakan bahwa mereka yang menyukai video game kompetitif, juga dikenal sebagai e-sports, lebih cenderung memandang pernikahan secara positif. Sementara mereka yang menonton anime atau membaca banyak novel web cenderung berpikir sebaliknya tentang pernikahan.
Profesor Li tidak menarik kesimpulan kontroversial apa pun dari hasil penelitiannya. Ia juga tidak mengusulkan kebijakan apa pun yang akan membatasi waktu bersosial media untuk anak muda. Tetapi berita tentang penelitiannya telah memicu reaksi keras di Weibo situs jejaring asal negeri Tirai Bambu tersebut.
(Damar PY)
Sumber Informasi:
- Kotak Game
- https://www.instagram.com/p/Cc7eb7lrpSE/)
- Kudasai (bit.ly/3klRwTt)
Post a Comment