Sherlock Holmes, Peter Pan, dan Mad Hatter, Tokoh Novel Klasik yang Diduga Autis
Tokoh Peter Pan/Ilustrasi (foto: Pixabay) |
Saya adalah anak penyandang asperger, salah satu jenis spektrum autisme. Saya sering menonton film atau membaca novel-novel klasik di internet entah yang berbahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris. Bahkan saya sering menonton versi remake dari kisah-kisah klasik dari abad ke-19 dan 20.
Dari sekian banyak cerita klasik yang saya baca, saya merasakan jika tokoh-tokoh itu memiliki beberapa kemiripan dengan karakter saya. Saya mulai bertanya-tanya, apakah mereka autis? Saya langsung riset di internet. Banyak pengguna dan banyak artikel serta situs-situs web lain yang menyebutkan jika tokoh-tokoh yang saya curigai memang penyandang autisme. Meski tidak secara eksplisit menyebut tokohnya sebagai penyandang autis.
1. Peter Pan
Anak autis suka memandang dunia dengan cara yang berbeda bahkan mereka memiliki persepsi yang dianggap orang normal sebagai sesuatu yang melawan takdir atau membayangkan sesuatu yang dianggap mustahil oleh manusia. Hingga saat ini sebagian manusia menganggap jika menghentikan perjalanan waktu menentang takdir Tuhan, tapi hal itu tak akan terjadi jika Anda berada di perspektif anak autis. Itulah sebabnya anak autis banyak menemukan ide-ide dan penemuan baru yang tak pernah dipikirkan manusia normal lainnya. Mereka bisa hidup di dunianya sendiri.
Ingin menjadi anak kecil selamanya dan tidak tumbuh dewasa adalah inti dari cerita Peter Pan dan tentu saja itu melawan takdir. Saat pertama kali melihat adegan menara jam ketika kecil, saya mengabaikannya. Tapi ketika dewasa saya memahami jika menara jam yang tertutup kabut itu adalah mimpi. Anak-anak itu ingin melarikan diri dari kenyataan di mana mereka siap tak siap harus menghadapi masa depan, yaitu kedewasaan.
Saya pernah membaca di suatu artikel jika JM Berry, penulis novel Peter Pan, sudah memahami ilmu psikologi sebelum ilmu itu ditemukan metodologinya.
Pada kenyatannya orang autis harus melawan 'takdir' yang diberikan orang normal dan menentang batasan dirinya untuk bisa sukses. Usaha mereka memang lebih berat untuk mendapatkan akses namun tak ada yang mustahil jika kita percaya. Minimal anak autis harus membuat 'kebenaran' versi dunia khayalannya sendiri tak perlu takut dianggap menyimpang, dan jangan pernah tergantung atau terlalu mendengarkan perkataan orang lain. Dengan cara itu, baru mereka bisa mengubah dunia.
2. Sherlock Holmes
Holmes unik dibandingkan dengan manusia pada umumnya, tetapi dia bukan "sosiopat yang berfungsi tinggi". Holmes kemungkinan besar menderita sindrom asperger, kasus kecil gangguan bipolar, dan sedikit sindrom savant. Sindrom asperger menyebabkan Holmes berpikir dalam gambar dan menginginkan persahabatan yang erat dengan Dr. Watson.
Gejala savant sindrom ada di dalam diri asperger, di mana separuh otak mereka mengalami kerusakan tapi di sisi lain otaknya bekerja dengan sangat maksimal. Membuat mereka hebat dalam satu hal tapi buruk dalam hal lainnya. Otak mereka bekerja dengan general bukan parsial.
Anehnya, pengetahuan Holmes yang begitu luar biasa diimbangi dengan ketidaktahuan yang sama besar di bidang lain. Holmes sama sekali tak tahu apa-apa tentang karya-karya sastra kontemporer, filosofi, dan politik. Saat Dr Watson mengutip pendapat Thomas Carlyle, dengan naif Holmes bertanya siapa orang itu dan kejahatan apa yang dilakukannya.
Keheranan saya mencapai puncak sewaktu tanpa sengaja saya ketahui bahwa Holmes tidak mengerti Teori Copernicus dan komposisi Tata Surya. Bahwa ada manusia beradab di abad kesembilan belas yang tidak menyadari bahwa bumi mengitari matahari, bagi saya merupakan fakta yang begitu luar biasa hingga saya hampir-hampir tidak mempercayainya.
"Begini," kata Dr Watson menjelaskan, "Otak manusia pada awalnya sama seperti loteng kecil yang kosong, dan kau harus mengisinya dengan perabot yang sesuai dengan pilihanmu. Orang bodoh mengambil semua informasi yang ditemuinya, sehingga pengetahuan yang mungkin berguna baginya terjepit di tengah-tengah atau tercampur dengan hal-hal lain. Orang bijak sebaliknya.
Dengan hati-hati ia memilih apa yang dimasukkannya ke dalam loteng-otaknya. Ia tidak akan memasukkan apa pun kecuali peralatan yang akan membantunya dalam melakukan pekerjaannya, sebab peralatan ini saja sudah sangat banyak. Semuanya itu diatur rapi dalam loteng-otaknya sehingga ketika diperlukan, ia dapat dengan mudah menemukannya. Keliru kalau kaupikir loteng otak kita memiliki dinding-dinding yang bisa membesar. Untuk setiap pengetahuan yang kau masukkan, ada sesuatu yang sudah kauketahui yang terpaksa kaulupakan. Oleh karena itu penting sekali untuk tidak membiarkan fakta yang tidak berguna menyingkirkan fakta yang ber-Sherlock Holmes, kelebihan dan kekurangannya."
1. Pengetahuan tentang sastra — nol.
2. Pengetahuan tentang filsafat — nol.
3. Pengetahuan tentang astronomi — nol.
4. Pengetahuan tentang politik — rendah.
5. Pengetahuan tentang botani — bervariasi. Sangat memahami belladonna, opium, dan racun-racun secara umum. Tidak tahu apa-apa tentang praktik berkebun.
6. Pengetahuan tentang geologi — praktis tapi terbatas. Mampu membedakan tanah dengan sekali pandang. Sesudah berjalan-jalan dia pernah menunjukkan noda-noda cipratan tanah pada celana panjangnya. Dari warna dan konsistensinya, dia tahu dari daerah mana tanah itu berasal.
7. Pengetahuan tentang kimia — menonjol.
8. Anatomi — akurat tapi kurang sistematis.
9. Pengetahuan tentang berita-berita menghebohkan — sangat banyak. Dia tampaknya tahu secara rinci semua tindak kejahatan yang terjadi pada abad ini.
10. Bermain biola dengan baik.
11. Sangat pandai dalam bela diri satu tongkat, tinju, dan pedang.
12. Memiliki pengetahuan praktis tentang hukum Inggris.
"Tapi Tata Surya!" Dr Watson memprotes.
"Apa gunanya bagiku?" tukas Holmes tak sabar. "Kalaupun bumi bergerak mengitari bulan, itu tidak akan mempengaruhi pekerjaanku!"
Begitulah anak autis, mereka bisa fokus berjam-jam melihat sesuatu yang menarik bagi mereka tapi mengabaikan sesuatu yang mereka anggap tak penting, meskipun itu ada di samping mereka. Fokus mereka tak mudah teralihkan. Jika hebat di satu bidang, mereka tak akan tertarik dengan topik di bidang lain. Mereka kerapkali dianggap arogan seperti Sherlock Holmes yang dianggap arogan oleh Dr Watson karena seringkali sering mendominasi pembicaraan dengan topik yang mereka kuasai atau mereka sukai dan membanggakan diri dengan kemampuannya itu.
3. Mad Hatter (Alice's Adventures in Wonderland)
Anak autis memiliki gejala yang berbeda-beda. Saya merasa Mad Hatter ini terlalu sopan untuk ukuran anak autis. Meski ia tak memahami etika sosial, ia sering memanggil Alice dengan sebutan 'Sayang'. Lantaran tokoh Mad Hatter adalah kakek-kakek, banyak pembaca, terutama orang tua yang menganggap jika Mad Hatter ini adalah seorang pedophilia, bahkan Lewis Carrol selaku penulis novelnya, juga dihadapkan dengan tuduhan yang sama.
Mad Hatter adalah seorang pria tua dengan topi top hat yang selalu menanyakan sesuatu tak masuk akal pada Alice. Konon, Lewis Carrol terinspirasi tokoh Mad Hatter ini dari anak seorang pekerja pembuat topi top hat di pabrik yang terpapar merkuri. Itu sangat tepat dengan penelitian jika merkuri adalah penyebab utama autisme. Carroll mungkin telah mengambil inspirasi untuk Mad Hatter dari seorang pria bernama Theophilus Carter, seorang pembuat kabinet dan dealer furnitur Oxford. Ia dikenal berdiri di luar tokonya dengan topi tinggi
Mad Hatter mewakili perilaku ritual klasik yang ditemukan pada orang autis, seperti mengayunkan tangan berulang-ulang.
“Akan sangat menyenangkan jika ada sesuatu yang masuk akal untuk sebuah perubahan,” kata Alice pada dirinya sendiri. Inilah yang dirasakan banyak penyandang autisme setiap hari.
“Protagonis sendiri tidak mendorong peristiwa ke depan. Sebaliknya, peristiwa Alice in Wonderland muncul dalam urutan acak dan serampangan. Pembaca dapat mengacak semua bab seperti satu pak kartu dan buku tidak akan banyak diubah.”
Fakta bahwa struktur 'Alice's Adventures in Wonderland' adalah acak menunjukkan bahwa itu tidak memiliki efek negatif pada cerita. Masih bisa dibaca dengan mudah dan dinikmati oleh para pembacanya.
Stefano Calabrese dan Maria Francesca Luziatelli membahas tentang tulisan Carroll dan fakta bahwa Carroll mungkin mengidap autisme dalam jurnal mereka, "Creativity and Autism Spectrum Disorders: A Hypothesis on Lewis Carroll." Mereka menyebutkan kepribadian dan sifat Carroll mirip dengan sifat autis.
“Pertama-tama, kita harus ingat bahwa Pendeta Dodgson mengajar matematika dan logika formal di Universitas Oxford (Carroll Mathematical Recreations), dan kita tahu bahwa banyak matematikawan menderita sindrom asperger atau autisme. Lebih jauh lagi, otaknya memiliki kemampuan sistemik yang jelas dan kecenderungan memecahkan masalah. Memang, semua yang ada dalam dua novel Alice-nya (Alice's Adventures in Wonderland, 1865; Through the Looking Glass dan What Alice Found There, 1871) adalah tentang krisis identitas dan malfungsi. Kita melihat status pengamat mutlak Carroll selama tahun-tahun di mana ia menulis Through the Looking Glass dan Hunting of the Snark – sebuah alegori gelap tentang tentara ragtag yang berburu makhluk setengah hiu dan setengah siput yang aneh – dan hasrat antiviviseksinya mungkin hampir seolah-olah mengimbangi ketidakmampuan substansialnya untuk membangun hubungan emosional atau mengekspresikan emosi... ”
Meskipun saya tidak tahu bahwa Carroll adalah seorang antivivisectionist, sekarang masuk akal melalui pekerjaan ini. Banyak orang autisme memiliki cinta untuk hewan. Banyak karakter di Wonderland adalah hewan antropomorfik (memberi suara pada hewan). Beberapa karakter hewan yang takut dan atau curiga pada manusia seperti Alice dan Queen of Hearts. Hal ini dapat dilihat sebagai manusia sebagai musuh, lahir dari ketakutan bahwa beberapa manusia menyakiti hewan. Alice jelas sangat menyukai kucing. Dia memiliki kucing peliharaan bernama Dinah dan dia sangat senang bertemu dengan kucing Cheshire. “Dinah akan sangat merindukanku malam ini, kurasa!” Alice berkata pada dirinya sendiri.
Saya tidak setuju dengan pernyataan yang dibuat tentang Carroll yang tidak bisa mengekspresikan emosi. Beberapa orang dengan autisme mengekspresikan emosi secara berbeda dan mungkin salah menafsirkan emosi mereka sendiri atau orang lain. Hanya karena Carroll tidak mengekspresikan emosinya dengan cara neurotipikal tidak berarti dia tidak mengekspresikan emosinya dengan cara atau bentuk lain atau membangun ikatan emosional.
Orang yang memiliki autisme biasanya dianggap hebat dalam matematika atau sains. Mereka biasanya tidak dianggap imajinatif atau kreatif.
Namun, teori ini telah dibantah melalui penelitian di Universitas East Anglia dan Stirling. Penelitian dilakukan untuk mempelajari kreativitas dan ciri-ciri autis pada sekelompok besar orang, termasuk orang autis dan non-autistik. Tes melibatkan skenario di mana peserta harus menemukan banyak kegunaan berbeda untuk objek umum dalam satu menit.
“Para penulis menemukan bahwa individu dengan tingkat sifat autis yang lebih tinggi membuat lebih sedikit saran daripada mereka yang memiliki tingkat sifat autis yang lebih rendah. Anehnya, bagaimanapun, saran dari mereka yang memiliki tingkat sifat yang lebih tinggi memiliki orisinalitas yang lebih besar. Tampaknya berada di spektrum autistik dikaitkan dengan kemampuan untuk menghasilkan saran yang lebih kreatif.”
Carroll memiliki pikiran kreatif dan matematis, sangat mungkin untuk memiliki keduanya. Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian, orang-orang yang mengambil bagian yang memiliki tingkat sifat autis yang lebih tinggi memiliki tingkat orisinalitas yang lebih tinggi. Ide-ide mereka lebih kreatif meskipun jumlahnya lebih sedikit. Fakta bahwa Julie Brown memiliki seluruh buku yang didedikasikan untuk penulis tercinta tentang spektrum autisme adalah bukti bahwa kreativitas umum terjadi pada orang dengan autisme. Kisah 'Alice's Adventures in Wonderland' telah dipelajari di banyak bidang akademik seperti, matematika, sains, psikologi, sosiologi, dan studi gender.
'Alice's Adventures in a Wonderland' adalah cerita yang telah berbicara kepada anak-anak dan orang dewasa dengan autisme selama 155 tahun terakhir dan dinikmati oleh jutaan orang. Karakternya mudah dikenali oleh beberapa anak dan orang dewasa dengan autisme. Kecintaan Carroll terhadap hewan menunjukkan bahwa penyandang autisme memiliki empati. Saya percaya Carroll adalah salah satu penulis paling kreatif yang pernah dikenal dunia sastra. Oleh karena itu, kisah-kisahnya akan dibaca dan dicintai oleh generasi yang akan datang.
Saya sebenarnya tidak boleh self-diagnnose, tapi ini kan cuma tokoh novel ya buat senang-senang sajalah.
(Damar Pratama)
dari berbagai sumber
Post a Comment