Bunda, Kapan Pandemi Corona Selesai?
Aktivitas anak-anak di rumah selama pandemi corona (foto: jedadulu.com) |
"Bunda, kapan corona selesai?" pertanyaan si bungsu ini pada Maret 2020 lalu awalnya saya tanggapi dengan santai. Saya selalu menjawab si bungsu dengan jawaban yang selalu sama, "Semoga aja minggu depan ya Dik."
Mulanya si bungsu yang duduk di bangku kelas 4 SD dan kakaknya yang baru masuk SMA, senang mendengar jawaban saya, lantaran itu berarti masih belajar di rumah alias tak perlu ke sekolah seminggu lagi.
Seminggu berlalu. Dua minggu berlalu. Bahkan berminggu-minggu, ternyata pandemi corona alias Covid-19 belum juga usai.
Anak-anak tak lagi merasa senang belajar di rumah yang awalnya menurut mereka seperti liburan panjang. Rasa bosan dan jenuh pun mulai menghinggapi mereka, terutama si bungsu karena sudah berbulan-bulan tak belajar dan bermain di sekolah. Ia sangat kangen dengan teman-teman dan gurunya di sekolah.
Sehari-hari anak-anak hanya berkutat di dalam rumah. Sesekali keduanya hanya keluar sebentar untuk bersepeda di sekitar rumah. Si bungsu tentu saja masih rewel meski beragam aktivitas variatif di dalam rumah sering kami jalankan, seperti berkebun, merawat ikan hias, menonton film, dan main games.
"Bunda, kapan corona selesai?" begitu pertanyaan yang masih saja sama dari si bungsu awal Desember 2020 ini. Kali ini saya tak bisa menjawabnya dengan pasti. "Sabar ya Dik," hanya itu kalimat yang bisa saya lontarkan pada si bungsu.
Tak terasa masa pandemi Covid-19 sudah berjalan hampir setahun, namun belum terlihat tanda-tanda akan segera berakhir. Walau katanya vaksin sudah tersedia, tapi keefektifannya masih meragukan, itu menurut saya loh. Bagi saya pribadi, pandemi ini sangat mencekam. Seperti berlari marathon yang belum terlihat garis finis-nya.
Selain untuk olah raga, bersepeda bisa sedikit menghilangkan kejenuhan selama pandemi. |
Di awal-awal pandemi, sebenarnya saya masih termasuk santai dalam menyikapinya. Masih antara yakin ada dan tiada tentang keberadaan virus yang mematikan itu. Tapi ketika semakin hari semakin banyak orang-orang di sekeliling saya yang terpapar termasuk tetangga dan rekan-rekan kerja sekantor suami, mau tak mau membuat naluri kewaspadaan saya sebagai seorang ibu jadi meningkat. Mungkin bisa dibilang ketika banyak orang mulai kendor, saya justru semakin paranoid menghadapi virus yang ganas dan gampang menular ini.
Bagaimana tidak, saya tahu sendiri ketika ibu salah seorang teman saya tak sengaja tertular dari salah satu anaknya dan harus dirawat intensif sendirian tanpa ada yang bisa menemani. Atau ketika ayah salah seorang teman saya yang lainnya harus gugur selang tiga hari setelah dinyatakan positip Covid-19. Atau saat anak salah seorang teman saya harus pergi selamanya di usia yang sangat belia, 16 tahun, juga karena virus ini. Benar-benar cukup menjadi pemicu kekhawatiran saya terhadap virus tersebut.
Pasalnya, keluarga kecil saya termasuk yang memiliki faktor komorbid, sehingga bisa menjadi fatal bila sampai terjangkit virus corona. Saya dan putera sulung saya mengidap penyakit asma. Begitu pula dengan suami yang belum lama sembuh dari pneumonia.
Bukannya melemah, bisa dibilang saya justru semakin berupaya ketat menjaga kesehatan kami sekeluarga selama pandemi. Saya tak peduli ketika melihat tempat-tempat wisata yang kembali dibuka semakin ramai di saat musim liburan panjang. Walau si bungsu masih kerap merengek bosan di rumah dan meminta rekreasi. Rasanya, saya akan tetap bergeming untuk tidak berpelesiran ke mana-mana selama pandemi masih mengancam.
Bagi saya mencegah jauh lebih baik daripada mengobati. Menghindari kerumunan, menjaga jarak dengan orang lain, konsisten bermasker bila keluar rumah, rajin mencuci tangan, merupakan upaya preventif yang saya terapkan dan selalu saya wanti-wanti pada suami dan kedua buah hati saya.
Tak cukup sampai di situ, asupan gizi pun menjadi prioritas yang sangat saya utamakan. Karena walau bagaimanapun imun tubuh sangat berperan penting dalam perang melawan virus corona ini. Selain memperbanyak makan-makanan bergizi tinggi, sehari-hari saya juga rutin memberikan jamu-jamuan tradisional yang berasal dari rempah-rempah untuk menjaga daya tahan tubuh. Seperti jahe, beras kencur, dan kunyit asam.
Beberapa bulan belakangan, saya kerap membuat jamu-jamuan tersebut dan saya simpan di botol-botol di dalam kulkas. Tapi lama-kelamaan, saya merasa kerepotan juga menyiapkan semua jamu-jamuan itu setiap hari. Karena kebetulan jarak antara rumah saya dan pasar tradisional terdekat lumayan agak jauh. Sehingga membuat saya cukup kesulitan memperoleh bahan-bahan pembuat jamu. Tapi untunglah, secara tak sengaja ketika hendak membeli susu, saya melihat sebuah produk minuman herbal di sebuah minimarket dekat rumah.
Sebagian stok produk dari Herbadrink di rumah kami |
Namanya Herbadrink, yang terbuat dari bahan-bahan alami dan tanpa bahan pengawet sehingga aman untuk dikonsumsi setiap hari. Herbadrink diproduksi oleh Konimex yang sudah tak perlu diragukan lagi kapasitas dan reputasinya sebagai produsen obat-obatan. Konimex percaya, bahan-bahan rempah itu bisa menjadi alternatif bagi masyarakat modern dalam menjaga kesehatan tubuh. Oleh karena itu Konimex melakukan penelitian dan pengembangan produk kesehatan yang berbasis bahan-bahan alami hingga lahirlah Herbadrink.
Selain praktis, karena hanya tinggal seduh, Herbadrink juga memiliki komposisi rasa yang pas dilidah orang-orang Indonesia, termasuk kami sekeluarga. Ada beras kencur, temulawak, kunyit asem, sari jahe, kunyit asem sirih plus madu, dan chrysanthemum.
Adapun saya dan suami merasa cocok dengan rasa wedang uwuhnya dan anak-anak kebetulan suka dengan sari jahenya. "Jamunya bahkan lebih enak daripada bikinan bunda," begitu seloroh si bungsu yang biasanya agak susah kalau disuruh minum jamu.
Asyik menyeduh wedang uwuh |
Hmm sekarang kekhawatiran saya selama pandemi kian berkurang setelah kami sekeluarga rajin mengonsumsi Herbadrink untuk menjaga kesehatan dan daya tahan tubuh. Tinggal mengupayakan agar anak-anak dan juga suami nyaman dan betah meski beraktivitas di dalam rumah.
Agaknya ini sudah tak terlalu sulit karena selama pandemi, si bungsu mulai punya kegemaran baru, membaca buku-buku komik. Sementara, si sulung punya kesibukan sendiri yakni menulis novel pertamanya di laptop barunya.
(Dinar K Dewi)
Post a Comment