Kisah Si Manusia IQ Tertinggi di Bumi
William James Sidis (foto: indozone.id) |
Duckworth telah menghabiskan beberapa tahun untuk mempelajari manusia, untuk membuktikan kebenaran ungkapan bahwa 'kerja keras mengalahkan bakat'. Sebaliknya, ketika manusia yang punya bakat tak bekerja keras dan tak mampu memanfaatkannya, maka hasilnya tak maksimal.
Duckworth menjelaskan, bukanlah IQ yang menjadi indikator kesuksesan masa depan seseorang. Walau sah-sah saja setiap orang kagum melihat anak-anak yang terlahir jenius. Di usia yang relatif belia, anak-anak itu telah mampu berprestasi dan menghasilkan berbagai karya yang luar biasa. Namun siapa sangka, kehidupan seseorang yang terlahir jenius ini ternyata tak selamanya seindah yang diduga.
Penelitian Duckworth pun bisa jadi benar. Ada kisah nyata seorang anak manusia yang memiliki IQ tertinggi sepanjang sejarah justru mengalami kehidupan tragis. Ironis. Nama sosok super jenius itu adalah adalah William James Sidis. Ia lahir pada 1 April 1898, di New York City, Amerika Serikat.
Sidis merupakan anak dari imigran Yahudi yang berasal dari Ukraina. Ayahnya bernama Boris Sidis, PhD, M.D yang dikenal sebagai seorang psikolog andal. Ibunya bernama Sarah Sidis, M.D. yang merupakan lulusan kedokteran.
Sidis memiliki IQ tertinggi sepanjang sejarah dengan nilai IQ 300. IQ-nya yang mencapai 300, mengalahkan ilmuwan terbesar abad ke-20, Albert Einstein yang "hanya" memiliki IQ 160. Atau sang penemu legendaris, Isaac Newton, yang IQ-nya 190.
Keajaiban Sidis sudah mulai terlihat ketika ia biasa makan sendiri dengan menggunakan sendok di usia delapan bulan. Pada usia 18 bulan, ia sudah menjadikan Majalah The New York Times sebagai bacaannya. Pada usia delapan tahun, ia berhasil menulis beberapa buku bertema anatomi.
Tak hanya itu, di usia delapan tahun, Sidis dilaporkan belajar dan menguasai delapan bahasa, yakni Latin, Yunani, Prancis, Rusia, Jerman, Ibrani, Turki, dan Armenia. Ia pun selanjutnya fasih menguasai 40 bahasa berbeda dari seluruh dunia.
Sidis kemudian diterima masuk Harvard University saat berusia 11 tahun. Sidis membuat rekor pada tahun 1909 sebagai mahasiswa termuda yang mendaftar di Harvard University, universitas terbaik nomor satu dunia.
Tetapi nahas, dengan IQ yang begitu tinggi dan pola pemikiran yang sangat kritis, Sidis sempat ditempatkan di rumah sakit jiwa karena dianggap gila oleh ayahnya. Tak lama berselang, Sidis diketahui ternyata hanya dijadikan kelinci percobaan oleh sang ayah untuk mengenalkan metode baru pendidikan. Sidis sejak kecil, setiap hari, hanya diperintah belajar tanpa pernah bersosialisasi dengan orang lain.
Beranjak dewasa, saat usia 17 tahun, Sidis sudah menjadi pengajar di bidang rigonometri, euclidean geometri, dan non-euclidean geometri. Banyak orang yang meramalkan ia akan menjadi pakar matematika nomor satu di dunia. Namun, ia tetap dibenci dan dijadikan bahan perundungan oleh teman-temannya karena sosoknya begitu kaku dan tidak bisa menyesuaikan diri. Ia pun merasa tersisih dari pergaulan. Hal ini membuatnya membenci matematika, bidang ilmu yang sangat melambungkan namanya.
Pada 1919, Sidis ditangkap oleh tentara saat ia berunjuk rasa menentang program wajib militer di era Perang Dunia I. Setelah ia keluar dari penjara, tidak diketahui lagi nasibnya. Namanya seakan hilang tak berbekas ditelan bumi. Hingga di kemudian hari seorang jurnalis tak sengaja bertemu dengan seorang pemulung besi yang ternyata adalah Sidis.
Selama hidup, Sidis memang merasa tersiksa dengan IQ yang dimilikinya. Ia merasa selalu disetir oleh ayahnya dan tidak pernah menjadi dirinya sendiri. Kisah hidup Sidis begitu tragis hingga akhirnya ia meninggal di usia 46 tahun
akibat pendarahan otak. Ia menghembuskan nafas terakhirnya tanpa pernah memiliki kekasih, istri, sahabat, dan orang lain yang menemaninya.
nnn
Post a Comment