Agar Punya Rumah tak Hanya Mimpi Bagi Milenial
"Penting gak si punya rumah sendiri?" Kalau ada yang melontarkan pertanyaan seperti ini, jawabannya mungkin beragam. Penting, belum penting, atau malah gak penting kan nyewa atau kontrak aja bisa.
Tapi kalau saya yang disuruh menjawab, dengan sejuta persen akan bilang penting. Penting pakai banget lagi. Pernah merasakan kontrak di rumah petak pada awal menikah. Pernah ngerasain numpang di rumah orang tua. Tetap gak ada yang ngalahin indahnya tinggal di rumah sendiri. Walau sederhana dan saat itu jauh dari peradaban.
Bebas. Lebih nyaman. Rumah-rumah gw gitu lho! Mau ngapain dan mau diapain aja bebas. Tapi sebenarnya kalau dipikir lebih jauh lagi, punya rumah sendiri itu sangat penting karena kita tak tahu kan apa yang akan terjadi di masa depan.
Pernah bayangin gak bagaimana kalau tua nanti, saatnya pensiun, tapi rumah masih ngontrak atau hanya menempati rumah warisan? Apa yang buat bayar kontrakan kalau sudah tak ada pemasukan memadai? Apalagi kalau kita hanyalah karyawan swasta. Mengandalkan rumah warisan orang tua? Kalau kita anak tunggal mungkin gak ada masalah, tapi bagaimana kalau bukan? Apalagi kalau kita termasuk bersaudara banyak.
Tapi gak usah lah mikir kejauhan kalau nanti kita udah berusia senja. Sekarang ini aja saat kita masih muda, sehat. Bagaimana kalau tiba-tiba kita kena PHK? Atau usaha kita bangkrut? Pemasukan berkurang atau bahkan tak ada pemasukan sama sekali? Tak mampu bayar kontrak atau sewa rumah?
Sejak 2016, saya sempat membaca beberapa artikel mengenai sulitnya kaum milenial untuk mempunyai atau membeli rumah. Artikel sejenis yang ditulis tahun 2019 bahkan memprediksi sekitar 81 juta milenial kesulitan untuk punya rumah sendiri.
Hal ini terjadi hampir di seluruh dunia. Termasuk Indonesia.
Seorang teman yang saat ini tengah menetap di Inggris pun pernah bercerita bagaimana banyak orang usia produktif yang menjadi homeless di sana. Yang untuk menyewa rumah saja mereka tak sanggup akibat biaya sewa yang juga melambung tinggi melampaui pendapatan mereka.
"Malah ada kasir supermarket, setiap hari kalau malam setelah tokonya tutup gelar sleeping bag di depan tempat kerjanya, karena gak mampu sewa rumah, lho." Begitu kira-kira cerita teman saya itu.
Seorang teman yang saat ini tengah menetap di Inggris pun pernah bercerita bagaimana banyak orang usia produktif yang menjadi homeless di sana. Yang untuk menyewa rumah saja mereka tak sanggup akibat biaya sewa yang juga melambung tinggi melampaui pendapatan mereka.
"Malah ada kasir supermarket, setiap hari kalau malam setelah tokonya tutup gelar sleeping bag di depan tempat kerjanya, karena gak mampu sewa rumah, lho." Begitu kira-kira cerita teman saya itu.
Mendengarnya tentu membuat saya miris. Bayangkan, homeless padahal bukan pengangguran. Masih punya pekerjaan. Tapi penghasilannya masih tak bisa menutupi besarnya biaya hidup di sana. Tapi syukurnya di Indonesia sepertinya tak harus sampai sebegitunya. Tak sesadis itu.
Kasir supermarket yang mungkin bergaji UMR di sini setidaknya masih bisalah sewa atau kost. Karena tarif kontrak rumah atau kost bulanan masih ada yang terjangkau di kantong.
Tapi, balik lagi apakah mau selamanya kontrak/sewa/kost? Bagaimana kalau sudah tak berpenghasilan tetap lagi?
Kasir supermarket yang mungkin bergaji UMR di sini setidaknya masih bisalah sewa atau kost. Karena tarif kontrak rumah atau kost bulanan masih ada yang terjangkau di kantong.
Tapi, balik lagi apakah mau selamanya kontrak/sewa/kost? Bagaimana kalau sudah tak berpenghasilan tetap lagi?
Harga properti yang melambung tinggi tak sepadan dengan penghasilan memang jadi salah satu alasan sulitnya milenial sekarang untuk punya rumah sendiri. Padahal sebetulnya itu bukan hal yang mustahil.
Ibaratnya seperti kata pepatah, "Banyak jalan menuju Roma,". Di mana ada kemauan di situ pasti ada jalan. Walau hanya sebatas UMR, selama kita masih punya slip gaji, untuk punya rumah sendiri rasanya tak terlalu muluk-muluk. Tapi ya tentu bukan rumah besar di tengah kota ya.
Seperti misalnya bila kita bekerja di Jakarta, dengan gaji "hanya" UMR mungkin agak sulit untuk punya rumah tapak. Tapi kalau yang mau tinggal di rumah susun, Pemerintah Provinsi DKI sudah menyediakan kok dengan program rumah DP 0 persen-nya.
Kalau gak suka tinggal di rumah susun, rumah tapak bersubsidi juga bertebaran di seantero Bodetabek. Tinggal milih yang sesuai dengan kita. Yang paling pas untuk kita. Karena sebenarnya pemerintah sudah sejak 2014 punya program perumahan rakyat, FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembangunan Perumahan) yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Nah pada awal 2020, Presiden RI Jokowi juga meluncurkan Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat), yang juga bisa dimanfaatkan.
Nah pada awal 2020, Presiden RI Jokowi juga meluncurkan Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat), yang juga bisa dimanfaatkan.
Pokoknya, asal ada kemauan, kesungguhan, dan tekad, bukan mustahil untuk punya rumah sendiri di Indonesia. Karena pemerintah cukup punya perhatian untuk hal ini, asal kita mau.
"Ah rumah subsidi lokasinya jauh dari pusat kota, jauh dari tempat kerja." Kalau masih ada yang punya komen atau pikiran seperti ini, saya bisa pastikan orang itu pasti mainnya kurang jauh. Pasalnya, saat ini yang namaya moda transportasi sudah sangat memadai. Sudah sangat terintegrasi. Terutama di wilayah Jabodetabek. Belum lagi jalan tol yang sudah saling sambung menyambung ke seantero Jabodetabek. Jadi akses yang sulit sudah tak masuk akal lagi untuk dijadikan alasan tak mau tinggal di pinggiran kota.
"Ah rumah subsidi lokasinya jauh dari pusat kota, jauh dari tempat kerja." Kalau masih ada yang punya komen atau pikiran seperti ini, saya bisa pastikan orang itu pasti mainnya kurang jauh. Pasalnya, saat ini yang namaya moda transportasi sudah sangat memadai. Sudah sangat terintegrasi. Terutama di wilayah Jabodetabek. Belum lagi jalan tol yang sudah saling sambung menyambung ke seantero Jabodetabek. Jadi akses yang sulit sudah tak masuk akal lagi untuk dijadikan alasan tak mau tinggal di pinggiran kota.
Semua tinggal kembali ke diri masing-masing. Menganggap penting atau tidak untuk punya rumah sendiri. Kalau memang iya, mulailah untuk mengurangi biaya ngopi-ngopi cantik, nonton XXI, gonta ganti gadget, sepatu branded atau traveling berpetualang ke pelosok bumi.
Kalau kita bukan anak sultan dan gak mau masa depan suram, mungkin ada baiknya kita mulai berpikir untuk lebih berhemat. Karena untuk milenial, punya rumah sendiri tak mustahil asal ada kemauan.
(Dinar K Dewi)
(Dinar K Dewi)
Post a Comment