Temaram (Cerpen)
Foto ilustrasi: Pixabay |
Oleh Endro Yuwanto
Jalan Doho, pukul sepuluh malam. Langit kelam pekat menghitam, rembulan sembunyi di balik awan. Kerlap-kerlip bintang bertaburan dan lampu-lampu di sudut jalan melahirkan nuansa temaram.
Sekitar satu jam lalu, toko-toko berlantai dua yang berderet rapi di sisi Jalan Doho telah ditutup. Pemiliknya yang sebagian besar warga keturunan Tionghoa mungkin sudah terlelap dalam mimpi atau mungkin sedang asyik bercengkerama bersama sanak famili sambil menonton televisi.
Namun di depan deretan toko, detak aktivitas jual-beli justru belum berhenti. Ratusan pedagang makanan, seperti nasi pecel, nasi goreng, sate kambing, soto ayam, bakmi, tahu campur, rujak cingur, dan aneka minuman nampak menggelar dagangannya.
Di sudut pertigaan yang remang-remang karena cahaya lampu tertutup kanopi dari toko-toko yang meninggikan lantainya, terlihat perempuan muda yang mengenakan kebaya mengusung bakul nasi. Dia lalu meletakkannya di atas tikar daun pandan. Di atas tikar juga tersedia beberapa panci besar berisi sayur bayam, kangkung, kacang panjang, dan toge. Nampak pula nampan berisi lauk-pauk, seperti ikan lele, sate ayam, telur dadar, kerupuk, tempe, dan tahu.
Sebuah mangkuk besar memuat sambal pecel diletakkan di dekat nampan. Perlahan-lahan, perempuan muda itu menuju gerobak dorongnya, mengambil panci kecil yang menampung sambal tumpang dan meletakkannya di atas tikar dekat bakul nasi.
Aroma sedap masakan yang digelar menggelitik perut untuk mencicipi makanan siap saji itu. Sekilas, kulihat penjual nasi pecel itu. Perempuan muda berparas lumayan manis dengan mengenakan kebaya batik yang sangat sederhana. Beberapa detik kami saling berpandangan. Tiba-tiba dari bibirnya tersungging senyuman, ''Ro, Anggoro, ya ?''
Aku kaget bercampur heran, perempuan muda ini mengenaliku. Aku berusaha mengingat-ingat.
''Mosok lupa tho Ro, aku Ningsih, temanmu waktu SMP dulu. Hayo ingat ndak?'' ujarnya lirih. Samar-samar akhirnya aku ingat. ''Ya ampun Eka Ningsih ya, Waduh Sih maaf, sudah lama sekali ya. Aku hampir saja lupa.''
Aku akhirnya bisa mengingat, tujuh tahun silam Ningsih adalah teman sekelasku di SMP. Ningsih termasuk gadis yang cerdas, menarik, riang, dan ramah. Begitu ramahnya, banyak teman pria yang mencoba mendekatinya, termasuk aku.
Dan, entah bagaimana ceritanya, Ningsih akhirnya membina tali kasih dengan Sudrajat, teman sekelasku juga. Setelah lulus SMP, aku berbeda sekolah dengan mereka. Aku di STM negeri, sedang mereka masuk SMA swasta. Setelah itu, aku jarang mendengar kabar kedua temanku itu. Apalagi, setelah aku merantau ke Jakarta selepas STM.
Kuamati wajahnya lekat-lekat. Beberapa saat kami sama-sama terdiam. ''Kenapa Ro?'' Ningsih membuka pembicaraan lagi seraya menyungging senyuman.
''Eee..,'' aku bingung memilih topik pembicaraan dengannya. Lalu, ''Lama sekali ya kita tidak bertemu, eee Sih, bagaimana kamu bisa berada di tempat ini?'' hati-hati sekali aku melontarkan pertanyaan itu.
Ningsih sontak terdiam. Pandangan bola matanya yang bening terlihat menerawang jauh. Jauh ke depan. Mungkin jauh melampaui ujung Jalan Doho. Ujung yang aku sendiri tidak akan pernah tahu. Perlahan-lahan matanya terpejam. Sisa-sisa paras manisnya semasa remaja belum begitu memudar. Saat matanya terbuka, bibirnya yang mungil dengan sedikit terbata-bata mengeluarkan suara.
''Yah, beginilah keadaanku sekarang, Ro. Setelah lulus SMP, aku dan Sudrajat masih membina hubungan. Kami satu sekolah tapi beda kelas. Hubunganku dengan Drajat semakin akrab dan dekat Ro, bahkan lama-kelamaan makin intim. Itulah kesalahan terbesar kami yang terlalu mengikuti nafsu. Saat kelas dua aku hamil. Bapakku dan orang tua Sudrajat murka. Kami terpaksa dinikahkan.''
Ningsih menghela nafas panjang, seakan ingin melepas beban berat yang menghimpit dadanya. Kemudian, dengan wajah sedikit menunduk ia melanjutkan kisahnya. ''Pihak sekolah yang mengetahui kejadian itu mengeluarkan kebijakan mengeluarkan kami. Aku dan Sudrajat benar-benar panik, Ro. Kedua orang tua Sudrajat yang merasa mendapat aib dari anaknya, hanya memberi uang untuk kontrak rumah selama satu tahun. Selebihnya mereka tidak mempedulikan kami,'' sambung Ningsih yang terlihat kusut dan lebih tua dari usia sebenarnya.
Ningsih masih melanjutkan ceritanya. Dia mengaku sekitar delapan bulan kemudian anaknya lahir. ''Kami semakin tertekan. Apalagi ketika bapakku yang selalu membantu keuangan kami, meninggal, tepat tiga hari setelah aku melahirkan. Aku semakin terguncang Ro, kamu ingat kan, ibuku sudah lebih dulu meninggal, ketika melahirkan adikku yang kedua..,'' tutur Ningsih diiringi air matanya yang mulai meleleh.
''Maaf Sih, aku tidak bermaksud membuka lukamu.'' Aku menjadi serba salah.
''Ah ndak apa-apa kok Ro, justru dengan cerita begini, sedikit banyak bisa mengurangi bebanku. Eh, ya Ro, sampai lupa, kami mau makan apa?'' Ningsih menyeka air matanya dan berusaha terlihat ceria.
''Nasi campur dan teh tawar Sih. Lauknya cukup tahu dan tempe!''
''Ro, sekarang kamu tinggal di mana? Kuliah atau kerja?'' rasa-rasanya kok aku tak pernah melihatmu di kota ini?'' Ningsih bertanya sembari tangannya sibuk menyiapkan nasi pesananku.
''Kerja di Jakarta, Sih,'' jawabku singkat.
Aku pikir, saat ini Ningsih tak perlu tahu kondisiku yang sebenarnya. Padahal, sejak satu pekan lalu, aku dirumahkan. Para karyawan di pabrik sepatu, tempatku bekerja, sejak bulan lalu mulai dikurangi untuk efisiensi. Konon, pabrik di sisi utara Jakarta itu mendekati kebangkrutan. Dampak krisis ekonomi empat tahun lalu akhirnya menerpa pabrik milik perusahaan Korea itu. Aku sengaja pulang ke kota kecil ini untuk memenangkan diri. Aku belum bisa menentukan akankah kembali ke Jakarta atau menetap dan lalu mencari pekerjaan di kampung halaman.
''Wah hebat kamu Ro,'' Ningsih menyodorkan sepiring nasi campur, nasi khas kota ini berupa nasi putih yang ditaburi sayuran, sambal pecel, dan sambal tumpang menjadi satu. Sambil melahap nasi campur, aku bertanya lagi, ''Drajat di mana Sih?''
''Suamiku itu lelaki yang bertanggung jawab, Ro. Dia menghidupi aku, anakku, dan kedua adikku dengan kerja serabutan jadi kernet mikrolet. Tapi biaya hidup di sini juga semakin tinggi. Akhirnya tahun lalu dia ikut jadi TKI ke Malaysia dan setiap bulan ngirim uang ke sini.''
Dua orang pengamen menghampiriku. ''Nuwun sewu, Mas..,'' lalu mendendangkan lagu Ebiet G Ade dengan suara agak sumbang. Tak ada kemerduan di nadanya. Kedua pengamen itu berlalu setelah menerima seratus perak dariku.
Aku merasa miris, di kota kecil di sisi timur Jawa ini, setiap tahun jumlah pengangguran kian melimpah. Di kota yang terkenal dengan tahu kuning-nya ini, pekerjaan yang dianggap layak adalah menjadi pegawai negeri, guru, polisi, tentara, dan buruh di pabrik rokok raksasa yang lahannya hampir menguasai sebagian sisi utara kota.
Namun sayangnya, tak semua tenaga kerja bisa ditampung. Tak heran, jika banyak pemuda yang berpendidikan rendah memilih merantau ke kota besar. Banyak juga yang memilih hura-hura dengan bergerombol di pusat-pusat keramaian yang mulai menjamur. Dua pengamen itu tak sendirian, puluhan pengamen yang rata-rata masih muda juga terlihat mondar-mandir di sepanjang Jalan Doho.
Aku bersiap beranjak meninggalkan tempat dudukku. ''Sudah Sih, teh dan nasi campurnya berapa?''
''Tiga ribu Ro.''
Kurogoh saku celana dan kukeluarkan uang lima ribuan. ''Ini Sih, aku pamit ya?''
''Eh, kembaliannya belum, Ro!''
''Sudah nggak usah Sih, buat si kecil-mu saja, eh dia di mana sekarang?''
''Di rumah kontrakan Ro, adikku yang menjaga. Eh, kapan kamu balik ke Jakarta?''
''Mungkin besok malam Sih,'' jawabku penuh ketidakpastian, karena aku ragu, apakah di Jakarta aku masih bisa bekerja kembali.
''Matur nuwun banyak loh, Ro.''
''Sama-sama Sih,'' aku beringsut meninggalkan tempat itu. Tampak dua orang menggantikan tempat dudukku. Kulihat orang-orang yang bersila sambil melahap makanan di sepanjang trotoar kian bertambah.
Aku berjalan pelan menelusuri trotoar. Di ujung jalan, orang-orang yang lalu-lalang kian berkurang. Sampai di sebuah lorong pertigaan yang sepi dan lengang, aku merasakan keanehan. Seperti ada sesuatu yang mengikutiku. Benar saja, mendadak dua orang asing sudah berdiri di sampingku.
''Mas lihat dompetnya!'' perintah pria bertopi gelap sambil menodongkan pisau lipat.
''Maaf Mas, sampeyan salah alamat, saya nggak punya duit,'' ujarku membela diri.
''Sudahlah, jangan bohong, pengamen tadi bilang kamu baru pulang dari Jakarta, pasti banyak duit. Cepat keluarkan dompetnya!'' tukas lelaki yang satunya lagi.
Kurang ajar, jadi ini semua ulah para pengamen tadi, umpatku. Buru-buru aku menangkis pisau itu sambil memukul si topi gelap. Namun, penodong lainnya berhasil menghantam tengkukku dengan bata. Aku roboh mencium tanah. Belum sempat aku berdiri, sebuah tendangan keras mengenai wajahku.
Pelipisku sobek. Darah segar keluar. Aku pasrah saja ketika kedua orang itu mengambil dompet di celanaku. Samar-samar kudengar suara mereka, ''Yah sial, cuma lima belas ribu, kere juga dia!''
Beberapa menit berlalu, aku melangkah terhuyung-huyung sambil menutupi luka di pelipisku dengan kertas koran. Mataku sedikit berkunang-kunang. Aku menengadahkan wajah, langit semakin hitam kelam. Mendung gelap menutupi bintang dan rembulan. Dengan lampu-lampu yang bersinar di sudut-sudut jalan, Jalan Doho masih tetap saja temaram.
Kota Tahu, 2001
Post a Comment