Setelah 360 Bulan (Cerpen)
Pantai (Ilustrasi/Pixabay) |
Oleh Endro Yuwanto
Aku menantinya di tepi pantai ini setiap senja asyik menenggelamkan matahari. Aku menunggunya di setiap malam, ketika suara-suara binatang malam mengalun tenang. Aku tetap setia di sini, bersama mimpi-mimpi yang kurajut setiap hari.
Kapal-kapal datang dan pergi di pelabuhan itu. Setiap hadir kapal yang berlabuh di pantai, tak henti-hentinya kuamati orang-orang turun dari tangga kapal. Aku melongok berharap cemas, siapa tahu engkau tiba-tiba muncul di sana. Namun, sudah tiga ratus enam puluh bulan, sosokmu tak pernah hadir di pantai itu, dengan senyuman indah seperti saat engkau meninggalkanku.
Masih kuingat lambaian tanganmu dulu, saat engkau berdiri di atas geladak kapal. Tanganku pun tak lelah melambai, mengiringi keberangkatanmu. Aku terus memandang kapal itu bergerak perlahan seperti ditelan lautan. Hingga tersisa tiang-tiang kapal. Dan akhirnya semuanya seperti sirna di sana.
Sore ini aku masih menunggumu di sini, di bawah lengkungan pelangi yang tiba-tiba saja hadir, seusai rintik-rintik hujan terhenti dipulas cahaya mentari. ''Mi, masuklah ke dalam rumah, angin kencang bisa mengganggu kesehatanmu,'' ajak Surip yang selalu setia menemaniku. Aku hanya menoleh sesaat, kemudian tetap tepekur di atas bangku kayu yang reot dimakan usia. Sepertiku.
''Sudahlah Mi, bersabarlah. Dia pasti pulang,'' hibur Surip seraya menarik lenganku. Ia lalu membimbingku memasuki rumah panggung yang berdinding bambu. Malam lalu merayap pelan.
Tapi setiap hari aku tak lelah keluar rumah untuk duduk di bangku tua. Aku selalu menyaksikan kapal-kapal yang merapat di tepi pantai. Berharap, engkau tiba-tiba ada di hadapanku. Namun, sama seperti kemarin, dan kemarinnya lagi, dan lebih jauh lagi, sosok rupawanmu dengan bahu yang kekar tak pernah ada di sana. Engkau bahkan tak pernah sempat menyaksikan kedua anak kita tumbuh dan berkembang. Mereka sekarang telah dewasa dan berjodoh. Anak-anak kita kini menetap di Jakarta.
Kesedihanku terasa kian membuncah kala lebaran tiba dan mereka berkumpul di sini sambil membawa cucu-cucu kita . Cucu-cucu kita yang mungil dan lucu-lucu itu selalu melontarkan pertanyaan yang selalu tak mampu kujawab,'' Nek, Kakek di mana?''
***
Pagi ini aku kembali berada di beranda rumah, duduk di bangku tua. Permukaan laut terlihat tenang. Semilir angin berhembus menerpa rambutku yang mulai dipenuhi uban. Sebuah kapal nampak merapat. Para awak kapal terlihat sibuk membongkar muatan. Puluhan penumpang berbondong-bondong meninggalkan pantai.
Seorang lelaki nampak berjalan tenang menghampiriku. Aku terkesiap. Sosok itu sepertinya tak asing bagiku. Bahunya kokoh dan sunggingan senyumannya seakan bisa membuat terlena siapa saja yang memandangnya. ''Dia datang..,'' desisku ragu. Buru-buru aku beranjak dari bangku. Namun pijakan kakiku belum sempurna benar. Tubuhku limbung, jatuh di atas tanah pasir yang kering.
''Mi, ada apa Mi !'' teriak Surip dari dalam rumah. Bergegas dia menghampiriku. ''Aku melihatnya, aku melihatnya!'' teriakku histeris sambil menunjuk lelaki itu.
''Itu bukan dia Mi, bukan,'' sergah Surip. ''Tidak, pasti dia. Dia sengaja datang menjemputku,'' tukasku tak mau kalah.
''Kalau benar dia, pasti sosoknya tak jauh beda dengan kita, Mi. Dia jauh lebih muda. Dan lagi, dia itu Somad, anak tetangga sebelah yang baru merantau dari Makassar,'' tegas Surip meyakinkanku.
Aku terhenyak, kesadaranku berangsur pulih. Aku lalu hanya bisa menangis sesegukan. ''Sudahlah Mi, relakan saja jika memang dia telah pergi,'' hibur Surip.
''Tidak, aku yakin dia masih hidup,'' elakku sambil menahan air mata yang mulai menderas. Siang mulai terik. Dengan lembut Surip membimbingku memasuki rumah.
Sudah tiga hari sejak peristiwa itu, Surip menghilang dari rumah. Namun dia sempat pamit pergi ke rumah kawan lamanya di kampung sebelah. Hari-hari menjadi semakin sepi. Tak ada lagi celoteh lucu Surip yang sering membuatku tersenyum. Tak ada lagi siulan-siulan isengnya melantunkan lagu yang entah aku sendiri tak tahu apa judulnya. Yang ada hanya deburan ombak dari pantai yang tak pernah sepi dari kapal-kapal yang merapat di tepinya.
Aku masih duduk di bangku tua yang makin lapuk dan reot di makan usia. Sesekali kuteguk kopi buatanku sendiri yang terasa hambar. Aku jadi teringat Surip. Biasanya dia rajin membuatkan kopi untukku. Tapi kini aku tak tahu, dia berada di mana dan sedang mengerjakan apa. Sejak tiga ratus enam puluh bulan silam, Surip selalu menemaniku. Termasuk membesarkan anak-anak. Sebagai nelayan, hampir setiap hari hidupnya berada di tengah lautan. Namun di darat, perhatiannya tetap tercurah kepada kami.
Surip dulunya sempat menikah dengan perempuan kampung sebelah. Namun pernikahannya yang baru seumur jagung berakhir tragis. Ia menikam istrinya tujuh belas kali. Surip menyaksikan dengan mata-kepala sendiri saat istrinya tanpa benang sehelai pun berada di kamar bersama lelaki penjual ikan. Sepuluh tahun Surip mendekam di jeruji besi. Setelah bebas, dia mendampingiku. Meski hanya adik ipar, aku menganggapnya seperti adikku sendiri. Usia kami terpaut lima tahun. Ah, aku menyesal, mengapa kemarin harus bersitegang dengannya.
Tapi kehadiran Surip selama ini tetap tak bisa melenyapkan bayangannya. Aku tak mengerti, apa yang menarikku jatuh ke dalam suatu ikatan batin, setipis kabut senja di puncak-puncak gunung. Aku selalu bisa menjawab pasti, mencintai matahari karena kesetiaannya menerangi bumi. Aku mencintai bumi karena pada permukaannya aku berpijak. Aku mencintai bintang karena kerlap-kerlipnya memperindah malam. Aku pun mencintai malam karena pada sepinya aku bisa merenung bijak. Tapi aku tak pernah bisa menjawab, mengapa aku begitu mencintainya.
Hari beranjak siang, sengatan sinar matahari makin terasa di kulit tuaku yang mulai keriput. Aku menggeser bangku tua itu menjauh dari cahaya matahari. Mendadak seorang lelaki melintas di hadapanku.
Aku terhenyak. Sekuat tenaga aku berteriak memanggilnya, ''Bang Sukra ..., Bang Sukra .., aku di sini!''
Lelaki itu nampak heran. Di belakangnya tiba-tiba berjalan seorang perempuan muda yang tengah mengusung keranjang ikan. ''Dasar nenek genit. Nek Mi, ini Mardun, suamiku. Sudah pikun ya ?!'' teriak perempuan itu kesal.
Aku malu sekali. Meski usiaku lebih dari separo abad, aku belum terlalu pikun. Buru-buru aku beringsut dan menutup pintu.
***
Ketika hari mulai sore, aku berniat kembali duduk di beranda. Saat pintu kubuka kembali, seorang pengemis renta sudah berdiri sepuluh meter di depan rumah. Pelan-pelan pengemis itu menghampiriku. Langkahnya gontai, menyeret kruk dari kayu untuk menyangga kaki kirinya yang buntung. Matanya picak sebelah. Baju yang membungkus tubuh dekilnya lusuh dan compang-camping.
''Mi, oh Mi, engkau masih di sini?'' gumam pengemis itu.
Aku kaget sekali, pengemis itu sepertinya mengenaliku. ''Kakek siapa, tolong jangan dekat-dekat ke sini,'' timpalku seraya melempar uang logam limaratusan.
''Aku ini Sukra Mi. Suamimu yang merantau ke Aceh beberapa tahun lalu,'' sela pengemis itu seraya bersimpuh di hadapanku.
''Tak mungkin, kakek jangan mengada-ada. Bang Sukra itu orangnya gagah dan tampan. Tak mungkin dekil dan cacat sepertimu!'' umpatku. Bergegas aku masuk rumah. Aku kesal sekali, setelah tiga ratus enam puluh bulan, tiba-tiba datang pengemis asing yang mengaku-aku sebagai suamiku. Pintu kututup dengan kasar,
''Brrraaakkk!!!''
Dari jendela aku mengintip. Pengemis gila itu masih saja duduk bersimpuh. Beberapa saat hening. Mencekam. Aku hanya berharap ada orang lewat dan lalu mengusir pengemis itu. Aku baru bisa bernafas lega, ketika sosok yang sangat kukenal menghampiri pengemis itu. Surip telah pulang. Kulihat dia membimbing pengemis itu menjauh dari rumah.
***
Surip memapah pengemis itu menuju gugusan karang, jauh dari keramaian. Senja mulai mengintip. Gugusan karang semakin terlihat hitam dan menutupi cahaya mentari dari ufuk barat. Bayangan dua lelaki tua itu tenggelam tertutup karang yang menjulang.
''Aku ini abangmu, Rip. Abangmu,'' pengemis itu mencoba meyakinkan Surip. Surip tak bergeming, dia hanya memandangi sekujur tubuh renta di hadapannya. Lantaran putus asa , pengemis itu lalu membuka bajunya. Di dada kirinya tersembul tahi lalat hitam memanjang sebesar ibu jari.
Surip terkesiap dan langsung berhambur memeluk pengemis itu. ''Bagaimana bisa begini Bang, apa yang terjadi ?'' tanya Surip penuh keheranan.
''Mungkin ini karma yang harus kutanggung Rip. Di Aceh aku lupa diri dan menikah lagi dengan gadis setempat. Usaha dagang kainku sukses besar. Kekayaan dan kemewahan membuat aku buta dan lupa pada Mi dan kedua anakku di sini. Aku khilaf Rip. Beberapa bulan lalu, kerusahan melanda. Sekelompok penduduk setempat yang ingin lepas dari republik ini mengira aku sebagai informan tentara,'' tutur Sukra sembari menghapus air matanya yang mulai meleleh. ''Seluruh keluargaku, termasuk istri dan satu anak lelakiku habis dibantai. Aku sempat sembunyi dan tertangkap di hutan. Mereka lalu menyiksaku, merusak wajahku dan membuntungi satu kakiku. Aku baru bisa lolos setelah diselamatkan sepasukan tentara.''
''Aku sekarang lelaki tua sebatang kara Rip. Aku sebenarnya malu kembali ke sini. Aku hanya ingin mengenang masa lalu. Aku tak menyangka, Mi masih ada di rumah panggung itu,'' kata-kata Sukra mulai terdengar lirih.
''Rip, aku sungguh berterima kasih, engkau selama ini telah menjaga Mi dan anak-anakku dengan baik. Rip, aku ingin bersama Mi lagi. Tapi mungkinkah dia masih menerimaku ?''
Sukra masih ingin meneruskan kata-katanya. Namun tiba-tiba sebongkah batu karang dengan keras membentur kepalanya. Darah segar muncrat dari kepala Sukra, mengalir membasahi baju rombengnya. Tubuh Sukra kelonjotan dan ambruk mencium bumi. Surip masih mencengkeram kuat bongkahan batu karang yang menyisakan darah berkilap. Air matanya meleleh.
Pantai Marunda, 2001-2003
Post a Comment