RajaBackLink.com

Ruang Tunggu Dokter Wiyoto (Cerpen)

Ruang tunggu dokter (Foto: Pixabay)

Oleh Endro Yuwanto

Lho, bukankah ini ruang tunggu dokter Wiyoto? Kucoba memperhatikan lebih seksama. Tak salah lagi, ini memang ruang tunggu dokter yang ramah itu. Tapi aku bingung, mengapa bisa sampai di sini. Sakit apa ya, aku?

Samar-samar aku ingat. O ya, mana piyama yang tadi aku kenakan, apakah aku tadi pingsan di kamar tidur, dan mungkin papa atau mama membawaku ke sini. Tapi, di mana mereka sekarang, mengapa aku ditinggalkan sendirian di sini? Aku tak habis pikir.

Mendadak aku merasa aneh, karena kursi yang kududuki terbuat dari kayu jati tua, padahal beberapa hari lalu ketika mengantar mama berobat di sini, kursi-kursi ini terbuat dari bahan plastik warna putih. Segera kusapu pandangan ke sekeliling ruangan. Aneh, dinding-dinding di ruangan ini tidak berwarna putih bersih, melainkan kuning menyala. Apalagi warna lantai keramik bukan putih susu, tetapi merah muda. Ini ruang tunggu dokter atau ruang pesta? Pikirku, heran.

Kulirik tulisan yang terpampang di pintu samping. Jelas di situ tertulis ‘dr Wiyoto’. Kualihkan pandangan ke meja kecil, persis dua langkah di depanku. Beberapa majalah remaja berserakan di atas meja. Lho apa nggak salah? Biasanya yang disediakan di ruang tunggu dokter adalah koran-koran dan juga majalah kesehatan. Apa ini memang ruang tunggu khusus remaja. Atau dokter Wiyoto memang sengaja memberikan aku bacaan-bacaan yang aku gemari?

Untuk lebih memastikan lagi, kuamati pasien-pasien yang duduk di sekitarku. Ada lima orang. Benar! Mereka semuanya seusia denganku. Mereka duduk kaku dengan pandangan kosong. Wajah mereka pucat seperti tak dialiri darah. Sepertinya aku pernah mengenal wajah-wajah itu, di mana ya?

Sekonyong-konyong pintu ruang periksa dokter terbuka, seorang perawat tua berwajah dingin keluar dari ruang periksa itu. Perawat tua?! Aneh, bukankah perawat dokter Wiyoto adalah Novita, gadis yang berwajah manis dan lembut itu. Di manakah dia?

‘’Saudari Ani dipersilakan masuk!’’ perintah perawat tua itu tanpa ekspresi.

Ani!? Kuperhatikan lebih teliti gadis yang baru saja masuk ke kamar periksa. Bukankah ia teman SMP-ku yang meninggal dunia karena penyakit leukemia? Bagaimana bisa sampai di sini?

Beberapa menit berlalu. Kulihat empat pasien lain masih menunggu giliran. Pelan-pelan aku sadar, tampaknya aku pernah mengenal mereka semua. Tia, Gina, Ririn, dan Marti. Tapi, bukankah mereka semua  sudah meninggal akibat kecelakaan bus dalam study tour  SMA beberapa tahun lalu? Gila, jangan-jangan aku sudah mati dan ini ruang tunggu untuk mengadili perbuatan kami selama di dunia. Bagaimana ini?

Tapi, tunggu dulu, bukankah ini hanya ruang tunggu dokter Wiyoto. Aku mulai was-was. Kualihkan pandangan ke luar lewat jendela kaca. Gelap sekali. Lho, apakah dokter Wiyoto buka praktek sampai tengah malam? Bukankah jam enam petang klinik ini sudah tutup? Dan lagi, mengapa di luar tidak seperti biasanya? Pedagang-pedagang kue dan tukang ojek tidak kelihatan sama sekali. Sunyi. Sunyi sekali

‘’Saudari Tia dipersilakan masuk!’’ tiba-tiba perawat tua itu sudah ada di samping kiriku. Tia berjalan kaku seperti robot yang digerakkan remote-control menuju ruang periksa. Namun, mengapa Ani belum keluar. Aku kian was-was. Ini ruang tunggu untuk apa?

Sampai pada giliran pasien kelima, semuanya telah masuk ruang periksa dan tak satu pun yang keluar lagi dari situ.  Aku merinding, bulu kudukku berdiri. Terlintas dalam pikiranku untuk meninggalkan ruang tunggu yang aneh, ganjil, dan menyeramkan itu. Astaga! Ternyata ruangan ini tidak berpintu! Hanya berjendela kaca. Satu-satunya pintu adalah yang dari tadi dibuka dan ditutup perawat tua itu. Bagaimana ini?

‘’Saudari Ester dipersilakan masuk!’’ perintah perawat tua dari balik ruangan. Mati aku!

Pelan-pelan kubuka pintu dan kulihat dokter Wiyoto sedang duduk serius di depan meja kerjanya. Di sampingnya, berdiri kaku perawat tua yang tadi memanggilku.

Pelan-pelan dan ragu-ragu, kuhampiri mereka. Selintas kulirik ranjang berwarna merah yang terletak di samping kiri meja dokter. Mengapa ranjang itu berwarna merah, bukannya putih? Dan ya ampun, alat-alat kedokteran macam apa ini? Di sisi ranjang berdiri meja panjang dan di atasnya tergeletak berbagai benda-benda tajam, seperti pisau, silet, gergaji, jarum sebesar pensil, dan gunting. Aku semakin merinding. Di ruang periksa ini tak nampak pintu keluar, hanya pintu yang menuju ruang tunggu. Jadi??!! Bagaimana aku bisa keluar dari sini?

‘’Saudari Ester silakan duduk!’’ dokter Wiyoto menyuruhku duduk. Lho, dokter Wiyoto kok berkacamata dan menghisap cerutu? Dan mukanya menyeringai seperti serigala? Jangan-jangan…, ragu-ragu kubaca kartu nama yang menempel di dadanya, ‘dr Wiyoto’. Benar, tapi kok lain?

Tiba-tiba dokter Wiyoto itu terbahak-bahak, sepertinya ia tahu kebimbanganku. Sekarang, nampaklah olehku, gigi dokter itu bertaring! Bergegas aku beranjak dari tempat dudukku. Aku harus menuju ruang tunggu dan terpaksa memecahkan kaca jendela untuk keluar. Namun, perawat tua mencekal lenganku. Dan entah dari mana datangnya, kelima pasien yang telah masuk ruangan ini tadi, turut memegangi tubuhku.

Aku mencoba berontak, tapi tak kuasa. Aku meronta-ronta. Berteriak-teriak minta tolong. Namun semua usahaku sia-sia. Aku pasrah ketika tubuhku diangkat tinggi-tinggi, dibanting sampai membentur lantai keramik. Darah segar keluar dari kepalaku, membasahi sekujur tubuhku, menggenangi lantai. Aku menjerit keras sekali, ‘’Aaaaaaakkkhhh!’’

Kukejap-kejapkan mata. Kuraba-raba seluruh tubuhku. Basah. Bukan darah! Tapi, ‘’Bangun Kak, sudah siang!’’ teriak adikku sambil memegang ember.

Srengseng Sawah, 1997

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.