Jalan Kematian (Cerpen)
Ilustrasi (Twitter) |
Oleh Endro Yuwanto
Ranggalawe terkulai lemas di tepi sungai itu. Kebo Anabrang roboh bersimbah darah. Lembu Sora menatap nanar dengan keris terhunus, yang masih meneteskan darah kental merah berkilap.
Lembu Sora tak mengerti, siapa yang pantas disalahkannya. Dua sahabat yang terkapar itu, dirinya, atau bahkan sang raja pemberi titah. Sementara, kehidupan telah menggariskannya. Pantaskah ia menyalahkan sang Pemberi Hidup yang pada akhirnya memberikan kematian?
Keris yang masih saja tergenggam di tangan, diangkat tinggi-tinggi dan diarahkan tepat ke jantungnya. Namun, pelan-pelan keris itu diturunkan kembali. Di antara kilatan ujung keris itu, Lembu Sora menyadari, suatu saat nanti, kematian pasti juga akan menjemputnya, dengan jalan yang ia sendiri tak akan pernah mengerti.
Burung-burung gagak hitam terlihat bertebaran di angkasa seperti ribuan anak panah yang dilepaskan pasukan Majapahit, menghujam tubuh-tubuh lelah ratusan bala tentara Tuban. Burung-burung hitam yang hanya memiliki naluri mencabik dan melahap daging ratusan tubuh tak bernyawa itu seakan tak pernah puas. Sambil mengepakkan sayap-sayapnya mereka meloncat ke sana ke mari di antara onggokan bangkai prajurit-prajurit yang masih setia mendampingi Ranggalawe hingga jiwa terpisah dari raga.
Matahari mulai condong ke barat. Langit menjelma warna merah jingga. Warna air yang mengalir di sungai kecil itu juga belum berubah. Masih merah darah. Lembu Sora ingat, dua purnama lalu ia melepaskan Ranggalawe kembali ke Tuban di tepi sungai itu. Sungai yang saat itu masih mengalirkan air bening sehingga bebatuan dan ikan-ikan mungil di dasarnya bisa terlihat dari atas permukaan.
"Kang Sora, aku mohon diri. Tak ada gunanya aku berlama-lama di sini," tutur Ranggalawe sebelum menunggang kuda jantan hitam.
"Dimas Lawe, apa tidak ada cara lain, selain meninggalkan Majapahit?'' Lembu Sora masih berharap Ranggalawe menggurungkan niatnya.
"Tidak Kang. Tak ada jalan lain. Toh Raden Wijaya sudah tak menginginkanku mengabdi di sini. Beliau lebih memilih Nambi sebagai mahapatih. Raden Wijaya juga sudah memerintahkanku menjadi bupati di Tuban,'' Ranggalawe sudah duduk di atas pelana kudanya sambil memegang tali kekang.
Lembu Sora mendesah lirih. Tak ada yang bisa diperbuat untuk menolong sahabatnya. Pikirannya buntu. Tapi ia memahami pilihan sulit Ranggalawe untuk segera menyingkir dari hutan Tarik. Ia pun menyadari keputusan Raden Wijaya semata hanya membalas budi bupati Madura Arya Wiraraja, ayahanda Nambi.
Arya Wiraraja adalah sosok yang melindungi Raden Wijaya sebelum duduk di atas Singgasana. Berkat bantuan Arya Wiraraja, Raden Wijaya bisa diselipkan untuk mengabdi pada Raja Kediri, Jayakatwang. Seorang raja bengis yang membantai mertua Raden Wijaya, Kartanegara sang penguasa Singosari.
Arya Wiraraja juga berandil membujuk Jayakatwang untuk memberi izin Raden Wijaya membuka hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggal. Di hutan terpencil dan jauh dari pangawasan Jayakatwang itu, diam-diam Raden Wijaya melatih pasukannya dan mendirikan Majapahit. Bersama pasukan Arya Wiraraja dan para sahabatnya, seperti Ranggalawe, Kebo Anabrang, Lembu Sora, Jurumedung, Gajah Biru, dan juga bala tentara Mongol, Raden Wijaya balik memukul dan menghancurkan Jayakatwang.
Tapi Raden Wijaya seakan melupakan jasa besar sahabatnya, Ranggalawe, yang memimpin pasukan Majapahit di segala pertempuran. Ranggalawe sang panglima perang tanpa-tanding yang selalu berada di garis depan dengan keris yang selalu teracung ke langit. Ketika terhunus dari sarungnya, tujuh liukan keris itu berkilat-kilat seperti tarian dewa maut. Siapa pun lawan yang mendekatinya, berarti mati.
Kecerdikan Ranggalawe juga membuat Majapahit berhasil mengusir tentara Mongol dari tanah Jawa. Tapi selanjutnya Ranggalawe justru dibuang ke daerah tandus di Tuban, sedangkan Nambi yang belum pernah memimpin pertempuran dinobatkan sebagai mahapatih; jabatan jelmaan tangan kanan raja.
''Selamat jalan Dimas Lawe, semoga sang waktu masih mempertemukan kita,'' ujar Lembu Sora. Ranggalawe hanya tersenyum getir. Setelah itu, derap-derap langkah kaki kuda Ranggalawe menjauh, diiringi ratusan derap kaki kuda para prajurit yang masih setia mendampingi Ranggalawe. Lembu Sora tak sanggup dan tak ingin mencegah kepergian ratusan prajurit yang mengiringi perjalanan Ranggalawe.
Lembu Sora masih saja berdiri mematung. Ketika kepulan debu bekas derap ratusan kaki kuda itu menghilang di kelokan jalan hutan, kebimbangan kembali menyeruak. Ia ingat pesan Raden Wijaya saat ia hendak mengantar kepergian Ranggalawe, ''Sora, jangan sampai ada satu pun prajurit yang menemani Ranggalawe ke Tuban. Aku tak ingin pasukan Majapahit terpecah!" Ah, begitu sulitkan menjatuhkan pilihan antara kepentingan negara dan kesetiaan kepada seorang sahabat.
***
Entah angin busuk dari mana yang membongkar rahasia kepergian Ranggalawe dengan ratusan prajurit. Rahasia itu bocor sampai ke telinga Raden Wijaya. Raja Majapahit itu murka dan menganggap Ranggalawe sudah berani melakukan penghinaan. Ranggalawe telah melakukan pengkhianatan. Di mata baginda, Ranggalawa makar. Ranggalawe adalah pemberontak. Ranggalawe pantas dihukum mati. Tanpa banyak pertimbangan, Raden Wijaya memerintahkan Mahapatih Nambi dan ribuan tentara Majapahit menyerbu Tuban.
Gajah Biru, ksatria muda bekas anak buah Ranggalawe, mendengar rencana penyerbuan itu. Bergegas ia mengumpulkan puluhan prajurit tersisa yang masih setia dengan Ranggalawe. Senopati muda itu lalu berangkat menuju Tuban untuk mengabarkan rencana Raden Wijaya.
Malam itu hujan deras mengguyur tapal batas Majapahit. Petir menyambar di mana-mana. Angin kencang melayangkan dedaunan dan ranting-ranting rapuh. Pohon-pohon angsana yang kukuh, tercerabut sampai akarnya, seperti malaikat maut yang dengan mudahnya mencabut nyawa manusia. Tanpa ada tunda, tanpa ada tambahan masa. Semua tepat sesuai titah Penguasa.
Rembulan hilang di balik mendung kelam. Angin kencang lalu berubah seperti berbisik lirih kepada puluhan prajurit setia yang selalu merindukan bercumbu dengan maut.
Di tepi sungai Brantas, Gajah Biru dan teman-temannya tersentak ketika ribuan pasukan Majapahit menghadang dari atas bukit. Tapi anak-anak muda itu selalu percaya, karang pun tak sanggup melenyapkan buih-buih samudera, seperti janji ombak kepada pantai untuk selalu setia menemaninya. Seperti juga janji mereka kepada Ranggalawe, panglima perang kebanggaan semua, untuk menjaga kewibawaannya.
"Aku ingin membela Kang Lawe. Ini semua tak adil. Kang Lawe sama sekali tidak bersalah!'' teriak Gajah Biru bersama tiupan angin yang tiba-tiba kembali kencang bergemuruh. Menderu selaksa gelegak darah muda Gajah Biru.
"Dimas Gajah Biru, siapapun yang membangkang perintah raja pantas dihukum mati. Ranggalawe adalah pemberontak!" Nambi berteriak lantang. Lengan kirinya menutupi mata dari rintik-rintik hujan yang masih menderas. "Jika membela Ranggalawe, Dimas juga pantas mati!"
Seperti kilat Nambi menghunus keris pusaka. Beberapa detik kemudian ribuan tentara Majapahit menyerbu turun ke tepi sungai seperti kawanan lalat yang mengerubungi bangkai.
Di antara rintik-rintik hujan, perang sesama prajurit Majapahit tak terhindarkan. Perang yang hanya sekedipan mata itu lebih tepat disebut pembantaian puluhan teman-teman Ranggalawe. Jeritan meregang nyawa bertebaran di mana-mana. Gajah Biru pun tewas di tepi sungai di tapal batas Majapahit. Wajah pemuda tampan yang berlumuran darah itu tampak bersinar. Senyuman kemenangan terkembang di bibirnya. Nambi hanya tercenung dari kejauhan di atas bukit.
***
Lembu Sora masih menatap nanar asap hitam tebal seperti jelaga dalam gumpalan-gumpalan besar pekat di angkasa. Cahaya merah bernuansa kilauan oranye terlihat di mana-mana. Kobaran lidah api mengelilingi kediamannya. Seperti air terjun yang tumpah dari atas tebing, api merah yang marah itu merayap deras menuju pendopo. Seperti ular sanca yang meliuk-liuk mencari mangsa.
Lembu Sora masih terlihat bersila di atas tempat duduknya. Ratusan prajurit Majapahit telah mengepungnya. Putera-putera terbaik Lembu Sora telah gugur demi membela kehormatan orang tua. Tapi ia tak pernah menyalahkan keganasan para prajurit muda Majapahit yang hanya mengemban tugas sang raja Jayanegara, putera mendiang Raden Wijaya, raja Majapahit berikutnya. Prajurit-prajurit muda itu hanya paham, Lembu Sora adalah pemberontak yang harus dihukum pancung.
Teriakan-teriakan meregang nyawa dari sisa-sisa pengawalnya terdengar membahana. Samar-samar Lembu Sora mengingat kisah Nambi yang pulang ke Lumajang untuk mengubur jasad ayahandanya, Arya Wiraraja. Entah hasutan dari mana, Nambi dituduh Jayanegara sebagai pemberontak yang sedang menyusun kekuatan. Tujuh malam Lumajang digempur habis-habisan. Nambi dan seluruh keluarganya binasa.
Setelah Nambi tewas, sahabat mendiang Raden Wijaya yang tersisa hanya tinggal Lembu Sora. Ia menjadi satu-satunya calon mahapatih. Tapi fitnah menyergapnya. Lembu Sora dianggap bersekongkol dengan Nambi oleh raja belia itu.
Kicauan burung hantu yang bertengger di ranting pohon beringin di depan kediaman Lembu Sora kian terdengar menyayat hati. Kicauan itu seakan mendendangkan tentang kefanaan dunia. Usia hanyalah perjalanan angka-angka dalam tahun. Lalu sejarah hadir. Kenangan tentang kehidupan orang-orang yang datang entah dari mana dan yang pergi entah ke mana.
Lembu Sora sama sekali tak menyesal kematian hadir menjemputnya dengan jalan seperti ini. Ia hanya menyesalkan, mengapa Majapahit yang begitu megah dibangun di atas mayat-mayat ribuan prajurit dan rakyat jelata. Juga di atas mayat ksatria-ksatria yang sukarela berperang dan membuka hutan Tarik untuk sahabatnya, Raden Wijaya. Ksatria-ksatria yang gugur bukan karena menghadapi lawan dari mancanegara atau memberantas pemberontakan. Tapi, ksatria-ksatria yang melepas nyawa dalam tikaman keris, tombak, dan mata panah sahabat-sahabatnya sendiri.
Lembu Sora, perwira yang sanggup membunuh puluhan orang hanya dari jarak sepuluh langkah, tak kuasa menyimpan berjuta kegetiran dalam dada. Perlahan-lahan air matanya meleleh. Membasahi pipi tuanya yang mulai keriput. Namun air matanya tak cukup untuk membangunkan istrinya yang tiba-tiba terbujur kaku di pangkuannya dengan sebatang anak panah menancap di perut. Air matanya tak cukup untuk memadamkan api yang menjilati sekujur tubuh emban-embannya yang mengendong puluhan cucu-cucunya. Air matanya juga tak cukup untuk menyiram kobaran api yang melumatkan kediamannya.
Ketika ratusan anak panah menghampiri Lembu Sora seperti halilintar yang menyambar puncak menara istana, pertanyaan-pertanyaan terus berkecamuk dalam dirinya. Mengapa dulu ia tak pernah menyangkal titah Raden Wijaya untuk mengangkat Nambi sebagai mahapatih? Mengapa ia tak mencegah ulah sembrono Gajah Biru? Haruskah ia mengizinkan ratusan prajurit mengiringi kepergian Ranggalawe ke Tuban?
Pantaskah ia membeberkan rahasia kelemahan Ranggalawe yang tak sanggup bertarung lama dalam air pada Kebo Anabarang? Satriakah ia ketika meloncat dan menghujamkan keris ke dada Kebo Anabrang saat Ranggalawe sekarat dalam jepitan sahabatnya dari Pamalayu itu? Haruskah ia mengabarkan kematian Ranggalawe ke Tuban sehingga dua istri sahabatnya itu dengan seketika menghujamkan keris ke dalam raga? Haruskah seluruh keluarganya menjadi tumbal kebesaran Majapahit? Tapi, kini Lembu Sora hanya bisa pasrah. Ia menyerah.
Slipi Jaya, Mei-Juni 2004
8
BalasHapus