Tiket (Cerpen)
(foto ilustrasi: id.techinasia.com) |
Oleh Endro Yuwanto
''Yeeem...!''Aku berteriak-teriak memanggil nama pembantu di rumahku. ''Ke mana saja tu orang, giliran dibutuhkan nggak ada di tempat, huh!'' dengusku kesal.
Pembantu di rumahku yang bernama Iyem itu memang menyebalkan. Tingkah Iyem yang baru berumur enam belas tahun itu sering membuatku kesal. Dandanannya menor dan norak.
Dengan lagaknya yang genit, entah sudah berapa orang penjual makanan yang lewat di depan rumah kepincut dengannya. Mulai dari tukang bakso, tukang siomay, penjual nasi goreng, bahkan tukang kebun tetanggaku dan petugas pencatat PLN, berlomba-lomba mendekatinya.
Aku sering mengeluhkan hal ini kepada mama dan papa, tetapi mereka hanya tersenyum saja. Mereka malah menyuruhku sabar dan memaklumi semua tingkah Si Iyem. Memang sih, kalau soal pekerjaan, pembantuku itu paling sering bisa diandalkan.
Iyem adalah orang pertama yang bangun pagi-pagi di rumahku. Setelah Shalat Subuh, pembantu asal Wonogiri, Jawa Tengah, ini langsung mencuci pakaian, beres-beres rumah, lalu memasak di dapur.
Siang hari, ia tidak pernah tidur. Di kamarnya yang terletak di depan dapur, ia selalu terlihat sibuk menggosok tumpukan baju. Sore hari, Iyem masih sibuk membenahi rumah, mulai dari menyapu, mengepel, sampai menyirami tanaman di halaman rumah.
Tapi, ya itu tadi, tingkahnya selalu membuatku kesal. Pernah pada suatu hari aku mendapatkan beberapa koleksi kasetku hilang. Ketika kutanyakan hal ini pada Rahman dan Rahmin, dua adik kembarku yang masih duduk di bangku SMP, mereka bilang tak tahu menahu.
Sempat terlintas di pikiranku untuk menanyakan ke papa dan mama, tapi tak jadi. Mana mungkin orang seusia mereka menggemari lagu-lagu Westlife, Spice Girl, dan Britney Spears.
Akhirnya dugaanku jatuh pada Si Iyem. Dan benar, ternyata diam-diam Iyem meminjam kaset kesayanganku itu. ''Maaf Mbak, Iyem belum sempat ngomomg. Mbak kan lagi kuliah,'' dalih Iyem dengan wajah tanpa dosa. Langsung saja emosiku meledak. Hampir seharian omelan dan caci-maki kulayangkan ke pembantu ganjen itu.
***
Sejak saat itu, Si Iyem kularang membenahi kamarku dan 'perang dingin' pun dimulai. Puncaknya terjadi saat aku sedang belajar untuk persiapan menghadapi ujian akhir semester.
Ketika konsentrasi penuh dengan bahan-bahan yang akan diujikan besok, tiba-tiba terdengar suara,''Praaang...! Nyaring sekali.
Konsentrasiku buyar. Aku langsung melompat ke luar kamar. Di dapur, kudapati Iyem tengah membereskan pecahan piring berserakan. Kesabaranku habis, kujambak rambutnya kuat-kuat.
Papa datang mencegah perbuatanku dan menggelandang aku kembali ke kamar. Sepintas kulihat Si Iyem menangis tersedu-sedu. Di kamar, mama menasehatiku untuk tidak terlalu kasar kepada Iyem. ''Kita masih sangat memerlukan tenaganya di sini,'' saran mamaku. Namun, kedongkolanku pada Iyem tak pernah surut.
Sampai kemudian Bulan Ramadhan tiba. Kewajiban bagi seluruh umat Islam yang beriman untuk berpuasa, termasuk seluruh keluargaku. Ketika menjelang lebaran, papa dan mama beserta dua adikku berniat ziarah ke kubur kakek dan nenek di Bogor. Mereka berencana menginap di rumah paman di pinggiran selatan Bogor.
Aku terpaksa tak ikut karena ada kegiatan di kampusku di Depok. Siang hari sepulang dari kampus, aku mendapati rumah dalam keadaan sepi. Tapi aku nggak peduli Iyem ada di mana. Malah aku senang, tanpa gangguan Iyem, aku bisa leluasa menyetel musik dan membaca novel kegemaranku sambil menunggu waktu buka puasa. ''Paling-paling si ganjen itu ngerumpi dengan pembantu sebelah,'' pikirku.
Namun, sampai waktu Shalat Terawih, Iyem belum juga pulang. Aku mulai was-was. ''Di mana kamu, Yem?'' ucapku dalam hati. Pukul sembilan malam, batang-hidungnya belum juga kelihatan. Aku semakin khawatir, belum pernah seumur-umur aku tinggal sendirian di rumah. Apalagi, rumahku besar dan halamannya luas. Jarak rumahku dengan tetangga yang lain lumayan jauh.
''Apa Iyem masih marah denganku, lalu diam-diam pergi meninggalkan rumah?'' pikiran-pikiran buruk berseliweran di benakku. Dalam keadaan seperti itu aku merenung, membayangkan semua perbuatanku terhadap Iyem selama ini. ''Yem, ke mana saja sih kamu?'' keluhku.
Hampir saja aku menangis, ketika bel di rumahku tiba-tiba berdentang. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas menit. Rasa takut mulai menjalar, jangan-jangan ada orang jahat yang hendak masuk rumah. Pintu terkuak. Dadaku kian berdebar-debar.
***
Wajah Iyem yang lugu muncul dari balik daun pintu. ''Mbak maaf, Iyem pulang telat.'' Hatiku lega, Iyem akhirnya pulang.
''Sebelum berangkat ke Bogor, Nyonya pesan agar Iyem membelikan Mbak kerupuk udang buat buka puasa dan makan sahur,'' jelas Iyem kemudian. Ternyata, hampir seharian Iyem pergi mencari kerupuk udang kesukaanku. Namun di beberapa tempat, pasokan kerupuk udang kosong.
Iyem mengaku berusaha mencari kerupuk udang sampai ke pinggiran Jakarta. ''Iyem takut Mbak marah sama Iyem,'' ungkap Iyem sembari menundukkan wajahnya. Melihat tingkahnya, aku jadi terharu dan iba.
***
Tiga hari lagi, Lebaran tiba. Seluruh keluargaku bersiap-siap menyambut lebaran termasuk Si Iyem. Dia terlihat sibuk membenahi barang-barang di almari dan mengepak beberapa potong baju kesayangannya ke koper. Iyem berniat pulang kampung besok.
''Kamu sudah beli tiket, Yem?'' tanyaku ketika berada di kamarnya. ''Nggak Mbak, Iyem langsung saja beli di Stasiun Senen,'' jawab Iyem sambil melipat baju yang akan dibawanya.
''Kamu gimana sih Yem, kalau kamu langsung ke stasiun, bakal kesulitan kalau belum beli tiket, orang yang mau pulang kampung membludak,'' jelasku. Kemudian, dari sakuku kukeluarkan tiket bus yang telah aku beli sejak kemarin. ''Lho Mbak, ini kan bus mahal. Iyem nggak mau ah Mbak,'' ujar Iyem saat kuserahkan tiket itu.
''Sudah nggak apa-apa, terima saja nggak baik nolak rejeki,'' jawabku. ''Tapi Mbak..,'' Iyem kelihatan ragu-ragu dan mau menolak.
''Sudahlah pokoknya ambil,'' tukasku kemudian.
Keesokan harinya, seluruh keluargaku mengantar Iyem ke terminal bus. Wajah Iyem terlihat berseri-seri, mungkin karena sebentar lagi dia akan pulang kampung.
''Hati-hati di jalan ya, Yem. Salam buat bapak dan emak di rumah,'' papaku berpesan sambil membantu Iyem naik ke dalam bus. ''Jangan lama-lama di kampung ya, Yem,'' teriakku ketika bus mulai merangkak. Kulihat Iyem terus melambaikan tangannya sampai bus hilang dari kelokan jalan terminal.
***
Lebaran telah lewat lebih dari seminggu. Namun Iyem belum juga pulang ke rumah. Padahal dia janji lima hari setelah lebaran akan balik.
''Dasar ganjen, ngapain saja sih Iyem, lama-lama di kampung,'' pikirku kesal, karena selama Iyem pulang kampung, hampir seluruh tugasnya di rumah akulah yang mengerjakannya.
Malam hari, dua minggu setelah lebaran, ketika kami sekeluarga berkumpul di depan televisi, tiba-tiba telepon berdering. Papa yang lebih dekat dengan pesawat telepon mengangkatnya.
Wajah papa nampak berkerut. Setelah telepon ditutup, wajah papa kian menegang. Beberapa saat papa terdiam. Lalu papa membuka suara,'' Iyem tidak akan balik ke sini.''
Aku kaget sekali mendengar berita itu. ''Gimana sih Iyem, katanya mau datang, dasar nggak tahu diuntung!'' teriakku kesal.
''Putri kesayangan papa ini bisa tenang tidak?'' tanya papa sambil mengelus rambutku. ''Kita semua harus berdoa untuk Iyem,'' lanjut Papa.
''Memang ada apa dengan Iyem, Pa?'' selaku.
Beberapa saat papa kembali terdiam. Kami tak sabar mendengar kabar Iyem dari papa. ''Bapaknya Iyem tadi interlokal. Dia mengabarkan, bus yang ditumpangi Iyem dari Jakarta mendapat musibah. Bus itu terperosok ke jurang saat melewati Alas Roban. Iyem adalah salah satu penumpang yang menjadi korban dalam kecelakaan itu. Meski sempat dirawat selama lebih dari seminggu, Iyem akhirnya meninggal,'' ujar papa lirih.
Aku terhenyak. ''Iyeeemmm!!! Samar-samar aku ingat, akulah yang membelikan tiket bus nahas itu untuk Iyem. Saat itu juga aku menangis sejadi-jadinya. ''Maafkan Mbak, Yem...''
Ramadhan, 2000
Post a Comment