Brangkah (Cerpen)
Oleh Endro Yuwanto
“Kau tak bermaksud membunuhku kan, kau…kau tak akan menembakku kan?” Wajah Brangkah nampak pucat, beda sekali dengan tampang sehari-harinya yang tegas, terkesan kejam, dan selalu menyeringai seperti serigala jantan.
Aku hanya tersenyum sinis. Lalu, “Tidak, tidak Brang, aku tak akan menembakmu.” Brangkah kelihatan lega, perlahan-lahan dia mendekatiku.
“Tapi Brang, ingin sekali aku membuat lubang di keningmu!!!”
Brangkah terhenyak dan mundur beberapa langkah. “Gordi…kita teman baik, Gor! Kita partner yang unggul Gor, ingatlah kesuksesan-kesuksesan yang telah kita raih selama ini!”
Brangkah semakin pucat, tak mungkin mundur lagi. Di belakangnya berdiri kokoh tembak pembatas ujung gang yang sepi. Moncong pistol kuarahkan tepat di keningnya yang lebar. Ibu jariku menempel kaku pada pelatuk pistol. Beberapa detik, kurasakan nyawa Brangkah berada di ujung jari kananku.
“Gordi…, jangan!!! Jangan Gor!!! Kita teman baik Gor…!!! Teriakan Brangkah belum habis. Dooooorrrrrr!!!
Tubuh tinggi besar itu roboh bagai pohon asam pinggir jalan yang ditebang. Bola mata Brangkah mendelik tajam menatapku.
***
“Ayo cepat sedikit, pecahkan pakai gagang senapan, goblok!” Prannggg!!! Dengan tergesa-gesa kumasukkan perhiasan-perhiasan yang berkilauan itu ke dalam kantong plastik di tangan kiriku, senapan kugantung di pundak.
“Cepat lari Gor, ada polisi!” Brangkah yang berjaga-jaga di luar toko memberi peringatan. Terdengar bunyi sirene di sekelilingku, aku bergegas lari kencang menyusul Brangkah. Hujan masih saja turun dari langit yang kelam.
“Gimana Gor, dapat banyak?”
“Nih ambil!”
“Hua…ha…ha…ha…kau memang partner yang hebat Gor!”
Tiba-tiba terdengar suara teriakan, “Berhenti, polisi!!!” Entah dari mana datangnya, dua polisi berdiri sekitar lima puluh meter di belakang. Menghadang.
“Gimana ini Brang?” Aku gugup
“Lari saja terus, di ujung jalan ini ada gang-gang kampung yang sempit, kita pasti bisa lolos!”
“Berhenti!!!” Terdengar teriakan kedua polisi itu diselingi tembakan peringatan. Untung, aku dan Brangkah berhasil mencapai lorong gang yang gelap.
“Kita berpencar dulu Gor, telusuri terus selokan ini, nanti kita bertemu di ujung gang!” Perintah Brangkah. Kami berpencar. Aku melesat ke kiri sambil memegang senapan, sedang Brangkah ke kanan sambil membawa kantong hasil rampokan.
Tap, tap, tap…, salah seorang polisi masih terus mengejarku. Aku berlari, terus berlari tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Seberkas cahaya nampak di depan, ujung gang…Bluakkk! Aku mencoba melirik ke belakang. Polisi itu terpeleset, tergelincir jatuh di bibir selokan.
Aku berhenti sesaat untuk memastikan. Tiba-tiba sesuatu memegang pundakku…
“Gor, bagaimana, selamat kan?”
“Uh, kau, bikin kaget saja, tapi lihat, masih ada satu polisi di situ,” Telunjukku mengarah pada polisi yang tadi tergelincir. Dengan susah payah polisi itu berusaha berdiri. Wajahnya tidak terlihat jelas, tertutup oleh jas hujan yang belepotan lumpur. Moncong pistolnya tertuju pada kami.
“Tembak dia Gor, tembak!”
Aku ragu-ragu. “Tembak Gor, sebelum dia menembak kita!” Senapan telah kuarahkan, tubuh polisi itu masih sempoyongan. “Cepat Gor, kau kan penembak jitu!!!”
Dooorrr!!!
Pistol polisi itu terlepas. Terdengar ia mengaduh sambil memegang lengan kanannya yang berdarah.
“Sekali lagi, Gor!” Brangkah teriak memberi perintah.
Dooorrrr!!!
Polisi itu pun roboh. Darah muncrat keluar dari dadanya yang berlubang.
***
Hujan masih belum juga reda walau malam akan segera menghilang ditelan fajar yang terang. Aku menyulut rokokku yang tinggal sebatang. Menghisapnya dalam-dalam.
“Hua…ha…ha…ha…kita berhasil Gor, sukses besar!” Brangkah tertawa menyeringai, aku melirik sesaat dan kemudian asyik kembali menikmati hangatnya kepulan asap rokok. “Ayo kita bersenang-senang, mau ikut Gor?” Brangkah mencoba mengajak.
“Tidak terima-kasih Brang, aku capek, pengin tidur,’’
‘’Ya sudah aku pergi dulu!”
Tubuh Brangkah yang tinggi besar itu hilang ditelan rumah-rumah kumuh di pinggir kali pekat penuh sampah. Aku menghela napas. Sudah hampir tiga puluh bulan lamanya aku mengenal manusia besar itu. Aku masih ingat ketika menang judi di sebuah rumah bordil. Lawan-lawan mainku yang berjumlah empat orang mencoba merampas hasil kemenanganku. Tentu saja, aku melawan. Beruntunglah, saat itu muncul orang tinggi besar yang membantu pertarunganku; Brangkah.
Aku dan Brangkah kemudian menjadi pasangan garong yang lihai. Perampokan, penodongan, dan pencurian menjadi bagian hidup kami sehari-hari. Hasilnya kami gunakan untuk bersenang-senang, judi, mabuk-mabukkan, dan tentu saja main perempuan.
Ironisnya, bapakku sendiri adalah seorang polisi reserse. Setelah ibu meninggal tiga tahun lalu, kelakukan bapak kian hari semakin aneh. Bapak sering marah-marah dan jarang pulang ke rumah. Bapak sama sekali tidak pernah menghiraukan apalagi memperhatikan aku dan Nining, adikku satu-satunya. Hingga akhirnya aku gagal meneruskan kuliah dan Nining putus sekolah di sebuah SMA.
Aku tak pernah menceritakan hal-ihwal keluargaku pada Brangkah, yang dua tahun lebih tua dariku. Seingatku, yang Brangkah tahu hanyalah perihal kematian ibuku.
Entah apa yang sedang dilakukan bapak dan Nining sekarang, aku tak tahu. Aku jarang sekali pulang ke rumah. Di luar, hujan masih menyisakan rintik-rintik. Aku menguap, lalu tertidur pulas.
***
Bruakkk!!!
Pintu terbuka kasar. “Hua...ha…ha...ha…, aku puas hik, aku puas hik, benar-benar hari yang indah hik..hik..hik..”
Aku terbangun setelah mendengar tawa Brangkah yang khas diselingi bau alkohol dari mulutnya.
“Ada apa Brang?” Dengan malas aku bertanya.
“Hik…tadi sehabis minum-minum, hik..hik.. aku mampir di sebuah rumah kosong. Hik..hik..ternyata ada penghuninya. Cantik sekali, mulus, sangat mulus hik..Aku menikmatinya. Lekuk-lekuk tubuh yang sangat merangsang. Dia masih perawan Gor, hik.. hik..sangat mengasyikkan…”
Kulihat Brangkah rebah di ranjang tanpa sempat meneruskan ceritanya. Dia tertidur kelelahan.
Beberapa saat aku terdiam. Kemudian aku beranjak dari ranjang. Iseng-iseng kunyalakan televisi 21 inci, milik kami satu-satunya. Televisi yang kami beli setelah berhasil merampok jutaan rupiah dari sebuah keluarga di Grogol, Jakarta Barat. ‘
Di layar kaca terlihat seorang penyiar wanita menyampaikan berita kriminal.
“Pagi ini, seorang seorang polisi reserse tewas saat mengejar para perampok perhiasan emas di Gang Gelatik, Tanang Abang. Ia mengalami luka di lengan dan dadanya akibat terkena tembakan. Setelah dilakukan visum, polisi yang terbunuh dalam tugas ini adalah sersan Markun Joned…”
Aku terkesiap bagai disembar geledek. “Bapak?!!! Jadi…tadi malam aku telah menembak bapakku sendiri?!”
Udara yang kuhirup di sekitarku seketika pengap. Kepalaku terasa pening. Peluh membasahi sekujur tubuhku. “Bapak…”
Belum hilang semua keterkejutanku, penyiar wanita itu melanjutkan beritanya. “Selanjutnya, seorang wanita berinisial NN diduga korban perkosaan, bunuh diri di rumahnya di Jalan Kembang Baru No 17…”
Mendengar berita itu, tubuhku bergetar, dadaku bergejolak, dan tanganku gemetaran, “Tidak, tidak Tuhan, tak mungkin! Tidaaakkkkk!!!”
***
“Akan kau bawa ke mana, aku Gor?” Wajah Brangkah masih diselimuti keheranan.
“Sudahlah ikut saja, ada pekerjaan bagus buat kita.’’
Aku menggiring Brangkah menuju gang sempit yang buntu. Malam kian gelap-gulita. Mendung menutupi cahaya bintang dan rembulan. Diam-diam kuselipkan pistol di balik bajuku, pistol yang tanpa kulihat dipungut Brangkah dari polisi yang terkapar kemarin; bapakku.
“Apa yang kau lakukan Gor, Gordi? Apa salahku?” Penuh ketakukan Brangkah bertanya ketika pistol kuacungkan tepat di hadapannya.
“Brang, kau yang memerintah aku membunuh bapakku sendiri. Kau juga tega menodai adikku hingga ia mati bunuh diri!!!” Penuh rasa dendam, dengan kegeraman yang sangat, aku siap menarik picu pistol itu.
“Huh, apa-apaan ini, aku benar-benar tidak tahu-menahu, Gor. Percayalah. Bisa jadi itu hanya berita sensasi untuk mengadu-domba kita Gor. Kita partner yang luar-biasa, Gor.’’
Aku tidak mendengar kata-katanya lagi. Beberapa detik kurasakan nyawa Brangkah berada di ujung jari kananku.
Wisma Gelatik, Srengseng Sawah 1996
Aku ragu-ragu. “Tembak Gor, sebelum dia menembak kita!” Senapan telah kuarahkan, tubuh polisi itu masih sempoyongan. “Cepat Gor, kau kan penembak jitu!!!”
Dooorrr!!!
Pistol polisi itu terlepas. Terdengar ia mengaduh sambil memegang lengan kanannya yang berdarah.
“Sekali lagi, Gor!” Brangkah teriak memberi perintah.
Dooorrrr!!!
Polisi itu pun roboh. Darah muncrat keluar dari dadanya yang berlubang.
***
Hujan masih belum juga reda walau malam akan segera menghilang ditelan fajar yang terang. Aku menyulut rokokku yang tinggal sebatang. Menghisapnya dalam-dalam.
“Hua…ha…ha…ha…kita berhasil Gor, sukses besar!” Brangkah tertawa menyeringai, aku melirik sesaat dan kemudian asyik kembali menikmati hangatnya kepulan asap rokok. “Ayo kita bersenang-senang, mau ikut Gor?” Brangkah mencoba mengajak.
“Tidak terima-kasih Brang, aku capek, pengin tidur,’’
‘’Ya sudah aku pergi dulu!”
Tubuh Brangkah yang tinggi besar itu hilang ditelan rumah-rumah kumuh di pinggir kali pekat penuh sampah. Aku menghela napas. Sudah hampir tiga puluh bulan lamanya aku mengenal manusia besar itu. Aku masih ingat ketika menang judi di sebuah rumah bordil. Lawan-lawan mainku yang berjumlah empat orang mencoba merampas hasil kemenanganku. Tentu saja, aku melawan. Beruntunglah, saat itu muncul orang tinggi besar yang membantu pertarunganku; Brangkah.
Aku dan Brangkah kemudian menjadi pasangan garong yang lihai. Perampokan, penodongan, dan pencurian menjadi bagian hidup kami sehari-hari. Hasilnya kami gunakan untuk bersenang-senang, judi, mabuk-mabukkan, dan tentu saja main perempuan.
Ironisnya, bapakku sendiri adalah seorang polisi reserse. Setelah ibu meninggal tiga tahun lalu, kelakukan bapak kian hari semakin aneh. Bapak sering marah-marah dan jarang pulang ke rumah. Bapak sama sekali tidak pernah menghiraukan apalagi memperhatikan aku dan Nining, adikku satu-satunya. Hingga akhirnya aku gagal meneruskan kuliah dan Nining putus sekolah di sebuah SMA.
Aku tak pernah menceritakan hal-ihwal keluargaku pada Brangkah, yang dua tahun lebih tua dariku. Seingatku, yang Brangkah tahu hanyalah perihal kematian ibuku.
Entah apa yang sedang dilakukan bapak dan Nining sekarang, aku tak tahu. Aku jarang sekali pulang ke rumah. Di luar, hujan masih menyisakan rintik-rintik. Aku menguap, lalu tertidur pulas.
***
Bruakkk!!!
Pintu terbuka kasar. “Hua...ha…ha...ha…, aku puas hik, aku puas hik, benar-benar hari yang indah hik..hik..hik..”
Aku terbangun setelah mendengar tawa Brangkah yang khas diselingi bau alkohol dari mulutnya.
“Ada apa Brang?” Dengan malas aku bertanya.
“Hik…tadi sehabis minum-minum, hik..hik.. aku mampir di sebuah rumah kosong. Hik..hik..ternyata ada penghuninya. Cantik sekali, mulus, sangat mulus hik..Aku menikmatinya. Lekuk-lekuk tubuh yang sangat merangsang. Dia masih perawan Gor, hik.. hik..sangat mengasyikkan…”
Kulihat Brangkah rebah di ranjang tanpa sempat meneruskan ceritanya. Dia tertidur kelelahan.
Beberapa saat aku terdiam. Kemudian aku beranjak dari ranjang. Iseng-iseng kunyalakan televisi 21 inci, milik kami satu-satunya. Televisi yang kami beli setelah berhasil merampok jutaan rupiah dari sebuah keluarga di Grogol, Jakarta Barat. ‘
Di layar kaca terlihat seorang penyiar wanita menyampaikan berita kriminal.
“Pagi ini, seorang seorang polisi reserse tewas saat mengejar para perampok perhiasan emas di Gang Gelatik, Tanang Abang. Ia mengalami luka di lengan dan dadanya akibat terkena tembakan. Setelah dilakukan visum, polisi yang terbunuh dalam tugas ini adalah sersan Markun Joned…”
Aku terkesiap bagai disembar geledek. “Bapak?!!! Jadi…tadi malam aku telah menembak bapakku sendiri?!”
Udara yang kuhirup di sekitarku seketika pengap. Kepalaku terasa pening. Peluh membasahi sekujur tubuhku. “Bapak…”
Belum hilang semua keterkejutanku, penyiar wanita itu melanjutkan beritanya. “Selanjutnya, seorang wanita berinisial NN diduga korban perkosaan, bunuh diri di rumahnya di Jalan Kembang Baru No 17…”
Mendengar berita itu, tubuhku bergetar, dadaku bergejolak, dan tanganku gemetaran, “Tidak, tidak Tuhan, tak mungkin! Tidaaakkkkk!!!”
***
“Akan kau bawa ke mana, aku Gor?” Wajah Brangkah masih diselimuti keheranan.
“Sudahlah ikut saja, ada pekerjaan bagus buat kita.’’
Aku menggiring Brangkah menuju gang sempit yang buntu. Malam kian gelap-gulita. Mendung menutupi cahaya bintang dan rembulan. Diam-diam kuselipkan pistol di balik bajuku, pistol yang tanpa kulihat dipungut Brangkah dari polisi yang terkapar kemarin; bapakku.
“Apa yang kau lakukan Gor, Gordi? Apa salahku?” Penuh ketakukan Brangkah bertanya ketika pistol kuacungkan tepat di hadapannya.
“Brang, kau yang memerintah aku membunuh bapakku sendiri. Kau juga tega menodai adikku hingga ia mati bunuh diri!!!” Penuh rasa dendam, dengan kegeraman yang sangat, aku siap menarik picu pistol itu.
“Huh, apa-apaan ini, aku benar-benar tidak tahu-menahu, Gor. Percayalah. Bisa jadi itu hanya berita sensasi untuk mengadu-domba kita Gor. Kita partner yang luar-biasa, Gor.’’
Aku tidak mendengar kata-katanya lagi. Beberapa detik kurasakan nyawa Brangkah berada di ujung jari kananku.
Wisma Gelatik, Srengseng Sawah 1996
Post a Comment