Bolehkah Aku Mati di Sini? (Cerpen)
Oleh Endro Yuwanto
"Pak, numpang nanya, bolehkah saya mati di sini?"
"Hush, ngomong apa kamu, sana pergi, dasar gendeng! Baru buka pagar sudah diganggu orang sinting!"
Cahaya matahari pagi baru mengintip di ufuk timur. Aku berjalan gontai meninggalkan rumah elite di komplek real estate milik para pejabat di tengah kota metropolitan ini. Rupanya, lelaki setengah baya yang berperut buncit itu tak mengizinkan aku mati di depan rumahnya. Pelan-pelan aku berjalan meninggalkan komplek real estate itu. Aku kembali mengelilingi sudut-sudut kota untuk mencari lokasi yang tepat untuk mati.
Kematian sepenuhnya memang takdir yang di Atas. Bisa saja saat sedang bercengkerama dengan anak-anak dan istri, tiba-tiba saat menguyah permen, kerongkongan tersedak dan akhirnya tak bisa bernafas. Bisa jadi saat bepergian dengan angkutan umum seperti bus ataupun kereta api, kecelakaan merengut nyawa kita. Bisa saja ketika asyik berbelanja atau mengambil duit di bank, perampok datang dan membacok tubuh kita hingga memisahkan nyawa dari raga. Jadi, kematian bisa kapan saja dan di mana saja. Dan, apa salahnya jika aku menentukan lokasi yang tepat untuk kematianku sendiri.
Mati memang takdir yang di Atas. Namun gilanya, berkat kecanggihan teknologi kedokteran, manusia bisa menentukan kematian manusia lainnya. Bulan lalu, dokter di sebuah rumah sakit swasta terkemuka di kota ini menvonis umurku tak akan lama lagi. ''Kemungkinan dua minggu lagi, Pak,'' ujar dokter muda berkacamata minus itu dengan ringannya. Seolah ia sudah bisa meramal kapan manusia yang sedang sakit akan mati.
Umurku mungkin selisih empat atau lima tahun lebih tua dari dokter itu, namun dia sudah bisa memprediksi jalan hidupku. Sungguh tak adil. Kata dia, aku terjangkit penyakit berbahaya dan menular yang sampai sekarang belum ada obat penawarnya. Jika kekebalan tubuhku rentan, usiaku mungkin lebih pendek lagi. Ketika dirunut ke belakang, dokter itu pun tahu, kalau aku pernah melakukan hubungan intim dengan perempuan yang bukan pasangan resmiku alias bukan istriku.
Ya kuakui, aku memang beberapa kali pernah melakukannya saat dinas di luar kota, tanpa sepengetahuan istri. Tapi sungguh, semua kulakukan hanya untuk menghormati rekan-rekan kerjaku yang bersusah-payah memberi fasilitas. Selain itu, tinggal di luar kota selama satu atau dua bulan dan jauh dari istri dan anak-anak jelas membuat aku kesepian. Berhubungan dengan perempuan-perempuan muda itu bisa sedikit mengusir kesepianku. Tentu saja tanpa sedikit pun melibatkan rasa cinta.
Aku memang bersalah. Namun, apakah pantas, jika dokter yang lebih muda dariku itu membeberkan rahasia busukku kepada istriku, setelah aku menceritakan apa yang aku lakukan di luar kota. Dan mungkin istriku juga sudah menceritakan semua aib bapaknya kepada dua putriku yang masih SD. Ketika istri dan mertuaku mengusirku dari rumah, aku pasrah, mungkin ini langkah terbaik untuk menghapus semua kesalahanku.
Namun, dendamku dengan dokter itu semakin mengkristal. Jika dia bisa menentukan kapan aku akan mati, aku tentu juga punya hak untuk menentukan di mana aku akan mati.
***
''Engkong, bolehkah aku mati di depan tokomu?''
"Oalaaah, kamu nggak waras ya, mau mati di depan tokoku? Bagaimana para pelangganku nanti? Pasti mereka pada kabur, tokoku juga akan jauh dari rezeki. Bisa-bisa aku disangka pembunuh. Kalau mati di sana saja, kuburan!'' cetus pemilik toko, seorang lelaki tua keturunan Tionghoa.
Benar juga kata pemilik toko itu, sebenarnya tepat yang layak mati adalah di kuburan. Namun aku masih ragu, jika mati di sana, siapa yang akan menyaksikanku. Paling para penggali kubur yang langsung membuangku ke liang lahat. Iya kalau langsung dikubur, jika mereka menyelidiki asal-usulku, bisa-bisa mereka melapor ke istriku dan lalu meminta ongkos biaya pemakaman yang lumayan mahal di kota ini. Nama burukku akan selalu dikenang, sudah menyusahkan keluarga, mati pun masih tetap menyusahkan.
Dalam lubuk hatiku, sebenarnya aku ingin mati jauh dari rumah mertua yang selama ini aku tempati bersama istri dan anak-anak. Tapi, jujur saja, aku juga ingin mati di lokasi yang mudah dikenal orang, sehingga berita kematianku bisa menyebar ke seantero kota. Syukur-syukur, istriku mendengar soal kematianku nanti. Tapi aku tak ingin mati di kuburan, itu terlalu biasa.
***
Tinggal dua hari lagi dari jadwal dokter muda yang meramal kematianku. Aku masih rajin mengikuti perkembangan berita di berbagai kota. Selama perjalanan mencari lokasi untuk mati, berita-berita soal kematian akibat bunuh diri dari media cetak dan elektronik semakin sering aku lihat, dengar, dan baca. Bahkan, anak-anak kecil yang berusia belasan tahun juga mulai banyak yang melakukannya. Cara mati gantung diri, mengiris urat nadi hingga putus dengan pisau atau silet, melompat dari gedung bertingkat, dan meminum racun sudah bukan sesuatu yang aneh lagi. Aku pikir, jika aku mati dengan cara seperti itu, orang-orang sudah tidak terlalu mempedulikan lagi atau bahkan mencemooh dan menganggap angin lalu.
Tentu, aku ingin mati dengan meninggalkan kesan positif bagi istri dan anak-anakku. Aku ingin mereka bersedih dan menangisi kepergianku, dan bukan menyumpah dan bersyukur bila aku telah mati. Aku ingin kematianku indah dan bila mungkin semua orang menaruh iba padaku.
Tak terasa, langkah kakiku sudah menjejak di pelataran kuburan yang sunyi. Dua orang berbaju gelap tiba-tiba menghampiriku. ''Saya dengar bapak ingin mati ya? Kami bisa menolong bapak, mencari lokasi yang tepat untuk mati,'' ujar salah seorang yang mengenakan topi merah.
''Siapa Anda ini, kenapa berbaik hati membantu saya?'' rasa curiga menghiasi benakku.
''Kami dari kepolisian di kota ini dan sedang berburu buronan yang sulit dikejar, si Kolor Ijo,'' jawab yang lainnya sembari menyalakan rokok ''Anda tinggal menanggalkan baju dan celana, lalu mengenakan kolor ini, mudah bukan. Saya jamin kematian Anda tidak akan menyakitkan dan kami akan menempatkan jasad Anda di lokasi yang paling indah,'' lanjut dia seraya menyeringai.
Aku terhenyak. Aku bukan orang bodoh! Jelas saja aku menolak kematian dengan cara seperti itu. Namaku akan lebih tercemar dan keesokan harinya menjadi head-line seluruh acara kriminal di televisi yang konon rating-nya sangat tinggi. Istri dan anak-anakku akan semakin membenci dan julukanku akan bertambah menjadi sang pemerkosa. Hih, gila! Dan sebaliknya, dua polisi ini akan mendapat ketenaran lantaran dianggap bisa mengejar dan membunuh sang legenda itu. Enak saja!
''Maaf saya perlu berpikir dulu. Anda-anda sebaiknya menunggu di sini, saya mau merenung di bawah pohon beringin di sudut kuburan itu,'' ujarku lekas. ''Oke boleh-boleh saja, tapi jangan lama-lama ya,'' ujar pria bertopi merah sambil tersenyum menyeringai.
Aku berjalan bergegas meninggalkan dua polisi itu menuju rerimbunan pohon beringin. Dari balik batang pohon, aku mengintip. Dua polisi itu terlihat asyik mengobrol sambil menghisap rokok. Pelan-pelan aku berjalan dengan berjingkat-jingkat. Malam yang gelap tanpa bulan dan bintang, dan juga bangunan cungkup makam yang tinggi, mempermudah diriku untuk menjauh dari pohon beringin. Tinggal selangkah lagi, aku keluar dari kuburan. Kupanjat tembok keliling setinggi 1,5 meter. 'Uuuups!' Aku meloncat ringan diiringi perasaan lega setelah berhasil melarikan diri.
***
Tinggal satu hari lagi dari ramalan dokter. Sekitar 24 jam lagi aku akan mati. Rasa penasaran kian menghinggapi. Hingga hari terakhir, aku belum juga menemukan lokasi yang tepat untuk mati. Ternyata sulit juga mencari lokasi yang tepat untuk mati. Mungkin jika sekadar mati, aku bisa melakukannya di mana saja. Tapi aku ingin kematianku dikenang. Aku berharap dikasihani seluruh orang yang kukenal dan kucintai. Aku ingin mati sebagai pahlawan bukan pecundang.
Pahlawan. Ya pahlawan, selintas gagasan yang cukup masuk akal berkelebat. Aku bisa mati saat dianggap berjasa bagi orang lain. Tentu saja aku harus melakukan sesuatu. Aku lalu ingat pelacur-pelacur yang membuat segalanya menjadi berantakan seperti ini. ''Merekalah pangkal semua masalah ini,'' gumamku. Aku bergegas menuju lokalisasi di sudut utara kota ini.
***
Tubuh perempuan setengah telanjang itu masih terlentang di atas kasur yang kumal. Sesekali ia mendesah. ''Mas main sekali saja ya? Kalau gitu saya mau pergi nih. Bisa langsung dibayar?'' suara merajuk perempuan bergincu tebal itu membangunkan kesadaranku kembali. Sejak melakukan persetubuhan yang ganjil tadi, aku sudah berniat tak membayar perempuan itu. Bahkan aku sudah merencanakan akan membunuhnya seusai menikmati tubuh mulusnya.
Tapi, tanganku seakan mengenggam sesuatu yang berat saat hendak mengambil pisau lipat yang sengaja aku selipkan di saku celana. Inilah saatnya sebelum aku meninggalkan kamar bordil ini. Jika perempuan itu mati, maka berkuranglah kemaksiatan di kota ini. Paling tidak, lelaki-lelaki yang menjadi korban sepertiku akan berkurang.
Aku menghela napas. Pelan-pelan tanganku merogoh saku celana. Perempuan itu tersenyum. Ia mungkin mengira aku hendak mengambil uang. Dinginnya pisau lipat terasa membekukan genggaman tanganku yang mulai gemeter. Kupandangi lekat-lekat perempuan yang mungkin masih berusia 20 tahunan itu. Pandangannya penuh harap. Aku mencoba menyelami pandangannya sebelum dadanya berlumuran darah.
Keraguan merasukiku. Apakah perempuan ini penyebab segala kejahatan di kota ini dan pantas mati? Mungkinkah dia menjual tubuhnya demi sesuatu yang sebenarnya mulia. Mungkinkah dia sedang kuliah dan butuh biaya. Mungkinkah ibu atau bapaknya sedang sakit keras dan membutuhkan perawatan di rumah sakit. Atau mungkinkah dia melakukan semua itu demi untuk menyekolahkan adik-adiknya yang masih kecil?
Aku semakin bimbang. Samar-samar aku mengingat kisah 'Babad Madjapahit' yang pernah aku baca. Kisah tentang Lembu Sora, berabad-abad yang silam. Kala itu, Rangga Lawe terkulai lemas di tepi sungai, Kebo Anabrang roboh bersimbah darah. Dan Lembu Sora menatap nanar dengan keris terhunus yang masih meneteskan darah berkilat. Lembu Sora tak mengerti siapa yang patut disalahkan. Dua karibnya yang terkapar itu, dirinya, atau bahkan rajanya. Sementara, kehidupan telah menggariskannya. Pantaskah ia menyalahkan kehidupan yang pada akhirnya memberikan kematian. Keris yang masih saja tergenggam di tangan Lembu Sora diangkat tinggi-tinggi dan di arahkan tepat ke jantungnya. Namun keris itu pelan-pelan diturunkannya kembali. Kala itu Lembu Sora menyadari, suatu saat kematian pasti menjemputnya, dengan jalan yang ia sendiri tak akan pernah mengerti.
''Buat Apa pisau itu Mas ?'' lamunanku buyar. Perempuan yang entah siapa namanya dan itu tak penting bagiku, sudah berdiri di hadapanku. Aku sedikit tergagap. ''Eh nggak. Saya salah ambil. Ini uangnya,'' Aku sodorkan beberapa lembar 50 ribu-an dan lantas meninggalkan kamar itu. Langkahku gontai penuh kebingungan dan kebimbangan.
***
Jam di lengan kiriku sudah menunjuk pukul 23.55. Tinggal lima menit lagi aku mungkin akan mati. Detik demi detik seperti berjalan lebih cepat. Suara degup jantungku kian keras berdetak. Suasana serasa sunyi. Bahkan suara binatang-binatang malam pun nyaris tak terdengar. Mendung hitam menutup langit. Kenangan-kenangan masa kecil, remaja, hingga dewasa, lalu menikahi istriku, memiliki anak, dan dosa-dosa yang pernah kulakukan, berkelebat di depan mata. Seperti adegan lamban dalam film. Aku merasa malaikat maut bakal menjemputku. Tanda-tandanya begitu jelas terasa. Mungkin dokter muda itu memang ahli meramalkan nasib.
Tapi, hingga kini aku masih kecewa. Aku merasa gagal menentukan lokasi yang tepat untuk kematianku sendiri. Kini aku berada di tanah lapang di sudut kota. Mungkin ini tempat para pemuda-pemuda kampung bermain bola di waktu sore. Alangkah janggalnya bila aku mati di sini, di tengah lapangan bola. Memang, cukup banyak pemain bola yang mati di tengah lapangan, dan nama mereka harum dikenang sebagai pahlawan olahraga. Tapi, bila nyawaku melayang di sini, orang pasti menyangka aku tewas lantaran mengidap suatu penyakit. Tentu bukan kejadian yang aneh lagi.
Kulirik jam di lengan kiriku. Tinggal dua detik lagi hari akan berganti. Aku memejamkan mata. Satu detik berlalu. Detak jantungku makin nyaring terdengar. Detik berikutnya berlalu. Rasa takut dan was-was bercampur menjadi satu. Aku berharap kematianku indah dan tak menyakitkan.
Tapi, enam puluh detik telah lewat, tak ada tanda-tanda malaikat maut menjemput atau menyinggahi tubuhku.
Jam menunjuk pukul 01.30. Aku belum juga mati.
***
''Ha, ha, ha...,!'' Aku tertawa lega dan puas sekali. Suara tawaku yang keras dan nyaring memantul ke sudut-sudut lapangan. Hingga dinihari telah lewat, malaikat maut ternyata tak mengambil nyawaku. Aku masih segar-bugar. Ramalan dokter muda itu meleset. Aku masih hidup. Aku hidup!
Aku segera berdiri dan membuka mata lebar-lebar. Jam tangan di lengan kiri kulepas dan kubuang jauh-jauh. Sekarang bagiku, bukan saatnya lagi menentukan lokasi yang tepat untuk mati. Saat ini, giliranku untuk menentukan waktu kematian dokter muda yang brengsek itu. Berbekal pisau lipat, aku bergegas menuju rumah sang dokter.
Slipi Jaya, Maret 2004
Post a Comment