Sehari Merantau (Cerpen)
Oleh Damar PY
Aku benar benar muak dengan sekolahku. Ini baru sehari diberi pekerjaan rumah (PR), besoknya diberi PR lagi, terkadang dua mata pelajaran diberikan PR di hari yang sama. Jika tidak dikerjakan sudah pasti akan dihukum.
Para guru seakan tidak merasakan bagaimana menjadi siswa yang disiksa. Aku memukul-mukuli buku matematika yang membuat tanganku semakin berkeringat karena tidak ada kipas angin yang cukup untuk menurunkan suhu di kamarku. Hanya kipas yang patah setengah. Tapi kalaupun aku mengeluh, aku yakin tidak akan menyelesaikan masalah yang kuhadapi. Aku bagaikan telur di ujung tanduk saat besok menemui Pak Tejo, guru matematikaku.
Di sekolah sering kali aku dihukum oleh guru BP di tiang bendera karena dituduh tawuran. Padahal sering kali bukan aku yang mencari masalah lebih dulu, biasanya Hasan dan teman-temannya dari SMP M yang suka mengeroyokku dan teman temanku dengan gesper.
Sungguh tak adil hukum di sekolahku. Harusnya aku dipuji sebagai pahlawan karena menolong teman. Sungguh tak adil hukum di dunia ini, aku dan teman temanku melindungi Malin yang tengah berjalan sendirian dan dipalak oleh anak SMP M. Bahkan aku dipaksa tanda tangan di atas materai untuk tidak mengulang tawuran.
Aku berpikir setengah mampus untuk menyelesaikan PR matematikaku. Selembar kertas soal itu bagaikan berton-ton di suhu panas dalam kamarku. Agar suasana lebih lunak dan adem aku menyetel lagu Mbah Surip, kakek bertopi Jamaika, itu selalu bisa menghapus segala kepahitan dalam hidup. Aku juga membeli es lilin seharga dua ribu rupiah untuk mendinginkan suasana.
Begitulah diriku. Aku memang punya banyak masalah. Ibuku pun selalu menangis saat aku terima rapor. Ibuku ingin aku menjadi sukses di masa depan, itu sebabnya dia tak menginginkanku punya masalah di sekolah karena aku satu-satunya tulang punggung yang ia impikan di masa depan untuk menggantikan peran ayahku yang sudah meninggal enam tahun lalu. Ibu tak pernah marah, hanya menangis, tapi tangisnya itulah yang kerap membekukan nyali dan langkahku.
Inilah aku
sirip matahari yang jelajah
setiap bias cuaca
sejarah daun daun memori di ujung kota
ku tak akan menghindar dari rasa takut walaupun selangkah
Untuk menyelesaikan pekerjaan rumahku terutama matematika, seringkali aku menulis ulang soalnya dalam lembar jawaban, sama seperti temanku, Wildan, sang berandalan di mata guru.
"Woy, Arman lu udah beresin PR belom?" tanya Wildan teman satu gengku.
"Udahan gue tapi jawabannya ditulis ulang dari soalnya," jawabku.
"Sama wkwkwk, udah ngasal aja terima nasib," cetus Wildan.
Terjadi obrolan yang cukup seru antara kami berdua, tanpa kami sadari tak lama kemudian datanglah Pak Tejo, guru killer matematika, membawa tongkat penggaris kayu panjang yang siap memukul para berandalan pembangkang.
Para murid langsung mengucap salam dan tersenyum manis dengan terpaksa melihat orang yang mereka takuti ada di hadapan mata. Tapi guru yang mendapat julukan Raja Iblis dari Gunung Merapi itu hanya menjawab dengan raut wajah marah dan mata melotot, mungkin agar terlihat berwibawa.
"Assalamualaikum, Pak Tejo," ujar para murid dengan senyum kecut.
"Wa alaikum salam," dengan nada tegas Pak Tejo menjawab. "Anak anak sudah mengerjakan PR?"
Hampir seluruh siswa di kelas menjawab "sudah" karena takut terkena sabetan kayu. Tapi aku dan Wildan hanya membisu.
Pak Tejo pun berkeliling kelas sambil mengelus-elus penggaris kayu kesayangannya dengan mata setajam burung pemakan bangkai, ia seakan bisa mencabik dan menerkam kami, kapan saja.
Ramalanku benar. Ia pun langsung menghardikku bagai sambaran geledek sambil memukul mejaku dan Wildan dengan penggaris panjangnya itu.
"Mana PR-nya?" teriak Pak Tejo.
"I-ini, Pak," jawab kami.
Hening. Sesaat kemudian. "Kok ditulis ulang soalnya, kamu gak belajar?" hardik Pak Tejo lagi.
"Belajar Pak tapi," kami tertunduk.
"Gak usah ngomong ini buktinya," bentak Pak Tejo sambil memukul meja kami dengan kayu.
Pak Tejo pun langsung menggiring kami keluar kelas sambil menjepit telinga kami. "Berdiri kalian di sini! Dasar berandalan sekolah," gerutunya.
Aku sudah terbiasa dihukum. Inilah diriku apa adanya, setidaknya ini melunasi rasa puasku. Tak lengkap rasanya jika hidup tanpa tantangan, bagaikan kopi tanpa kafein.
Aku dan Wildan dihukum dan hukumannya pun akhirnya berakhir pada saat bel pulang sekolah berbunyi nyaring.
Saat pulang sekolah aku tidak langsung balik ke rumah, sangat membosankan. Aku sering nongkrong di pangkalan tukang ojek pengkolan. Teman-temanku yang lain, termasuk juga Hasan anak SMP M yang menjadi musuh abadiku juga ada di sana. Aku pun berpura pura tidak melihatnya. Mereka sedang menonton TV yang tersedia di pangkalan ojek. Mereka tak bisa memalingkan pandangan dari aksi demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPR/MPR RI. Tak hanya mahasiswa, ternyata pelajar SMP, SMA, dan SMK ada juga yang terlibat dalam demonstrasi itu.
Wildan berbicara pada seorang temanku di pos ojek, "Abid, Bang Nasrul udah jalan belom?"
"Udah dari tadi, kenapa?" tanya Abid balik.
"Gak apa apa emang dia ngapain?" tanya Wildan lagi.
"Dia bantuin Bang Cecep yang udah kuliah buat demo"
"Bantuin ngapain?"
"Masih nanya lagi? Ya bantuin demolah tuh liat aja di TV!"
"Luh di sini ngapain Bid?"
"Nungguin bak terbuka gelombang kedua, lu mau ikut?"
"Ya iyalah solidaritas!"
Wildan pun menepuk pundakku.
"Woi, Arman lo mau ikut gak?"
"Gak ah entar emak gua nyariin gua kasihan."
Abid dengan senyum yang agak sinis mengatakan, "Mental tempe luh!"
Wildan ikut menimpali. "Iya Man lu bilang lu suka hidup yang penuh tantangan."
"Gua emang suka tapi gua khawatir emak gua nyariin ke Jakarta pasti pulangnya malam," timpalku.
"Yah elah Man kita kan sahabat harus saling kompak."
Tak lama setelah mereka berdebat, bus besar pun datang di halte dekat pengkolan ojek. Anak-anak Pancoran Mas sudah siap dan mulai menyanyikan yel yel. Mobil bak terbuka urung datang dan diganti bus karena jumlah peserta semakin banyak. Rahmat memilih menggunakan bus untuk mengangkut massa para pelajar itu.
Rahmat adalah anak kelas 2 SMA. Ia ketua berandal Pancoran Mas. Ia menamai gengnya, Pancoran Mas, untuk menyatukan seluruh sekolah di Kota Depok, seperti Mahapatih Gajah Mada menyatukan Nusantara lewat Sumpah Palapa. Seluruh geng Pancoran Mas yang dibawa oleh Rahmat berjumlah sekitar 75 orang.
Aku tak ingin mengecewakan teman-temanku, jadi aku memutuskan ikut. Aku ikut untuk mencari pengalaman baru. Aku yakin petualanganku kali ini berbeda dengan tawuran yang biasa aku lakukan.
Hasan yang biasanya menjadi musuhku saat tawuran tersenyum dengan giginya yang bersih. Ia menjulurkan tangannya. "Kita bukan musuh lagi ingat PERSATUAN INDONESIA." Dari raut mukanya dia sudah melupakan permusuhan selama ini yang terjadi di antara kami berdua. Aku pun mau bersalaman dengannya.
Aku punya prinsip dalam petualangan terbaruku ini, "Cintailah perdamaian, tapi lebih cintailah keadilan."
Aku merasa langkahku sudah tepat untuk mewujudkan kata-kataku. Di dalam bus aku tidur lelap sambil memangku ransel merahku...
Mendadak, teriakan dan ledakan gas air mata memecahkan gelembung tidur siangku. "Woy bangun woy!!!" teriak Wildan padaku dengan sangat panik.
Seluruh temanku menyiapkan gespernya. Tampak Rahmat membawa peralatan huru-hara yang lengkap, petasan, botol berisi bensin, dan korek api.
"Ayo tempur, ayo tempur!!!" teriak yang lain dengan semangat ala jihad.
Aku pun langsung menarik gesper dari celana. Aku melihat dari kejauhan seorang polisi yang babak belur menjadi bulan-bulanan para pelajar dari berbagai sekolah.
Gas air mata yang digunakan polisi seakan tak dapat memadamkan semangat para pelajar yang meledak-ledak. Gas air mata itu bagaikan obat nyamuk semprot murahan yang tak mempan mengusir nyamuk.
Wildan berkata di tengah kebisingan huru-hara massa bahwa dahi Hasan tertimpa batu dan berdarah. Aku tahu Hasan musuh bebuyutanku, tapi hatiku merasakan sesuatu yang tak pernah kurasakan sekali pun dalam hidup. Sedih dan marah. Aku dan Wildan berusaha menolongnya dengan cara menggotongnya ke tempat yang aman.
Setelah polisi yang menjadi bulan-bulanan pelajar itu pingsan, langsung datang ratusan polisi memakai perisai menutup jalan menuju Gedung DPR/MPR. Tapi Rahmat, pemimpin geng Pancoran Mas, tak kehabisan akal untuk situasi apapun.
"Ya udah gini aja kita kita dorong mobil pick-up itu ke arah kerumunan polisi biar kita bisa lewat," ujar Rahmat dengan sedikit raut muka yang agak panik.
Sekitar sepuluh orang berdiri di atas pick-up untuk menambah berat pick-up serta puluhan lainnya mendorong dari belakang. Mereka akhirnya berhasil memporakporandakan barisan polisi berperisai itu.
Para polisi itu pun mulai kehabisan kesabaran. Setelah jumlahnya bertambah banyak, polisi merangsek. Beberapa dari kami yang lari lebih dulu akhirnya berhasil lolos dari kejaran para polisi. Tetapi yang berjalan agak lamban tertangkap. Aku dan Wildan pun tertangkap karena menggotong Hasan. Ini membuat langkah kami terhambat dan polisi pun berhasil menangkap rombongan kami. Kami lalu dibawa ke kantor polisi terdekat.
Di kantor polisi, kami pun akhirnya disetrap dengan push-up, sit-up, dan jongkok sebagai hukuman. Saat push-up aku menoleh ke atas. Ada seorang polisi menghampiriku, dia punya kumis yang cukup panjang dan agak beruban di alisnya.
Dia menanyaiku beberapa hal, "Dari mana, dek?" tanya polisi separuh baya tersebut.
"Dari SMP di Depok," jawabku dengan cemberut dan agak kesal.
"Ke sini dalam rangka apa?"
"Demo RUKUHP," jawabku dengan polos meskipun sebenarnya aku tak paham benar masalah yang terjadi.
"Tau gak salah kamu apa?"
"Gak tau tuh"
Suara polisi itu mulai meninggi. "Jadi kamu gak merasa salah?!" hardiknya dengan mata melotot.
"Tidak saya merasa baik baik saja, justru menurut saya bapak dan rekan rekan bapak yang salah. Bapak tega menembaki kami dengan gas air mata, padahal kami memiliki hak untuk berdemokrasi dan menuntut hak kami. Bapak lebih sayang pejabat daripada kami rakyat yang harusnya Bapak lindungi. Bapak dan rekan rekan Bapak rela melindungi pejabat yang mendzalimi rakyat. Menurut saya para pejabat di DPR itulah yang pantas disirami gas air mata," ujarku sambil senyum dengan agak belagu.
"Gak usah sok pinter kamu. Kok bisa bikin huru-hara kayak gini kamu bilang gak salah?!" sepertinya kesabaran polisi separuh baya itu hampir habis.
"Saya tidak tahu mengapa saya tidak merasa salah yang jelas saya yakin melangkah dengan tepat tak pernah seyakin ini," jawabku dengan tegas dan penuh keyakinan.
"Berani kamu ngelawan hah," dia sudah siap melakukan apa saja.
Polisi itu pun mulai menampariku bertubi tubi hingga pipiku kemerah-merahan. Untunglah, polisi lain dengan sigap memisahkanku dengan orang itu.
Aku sama sekali tidak melawan biar bagaimana pun dia orang tua harus tetap dihormati.
Sesudah semua kejadian itu, aku dan teman teman berandal Pancoran Mas dipulangkan ke sekolah masing masing.
Aku sampai di sekolahku kira kira pukul 11.30 malam. Saat baru turun dari mobil, aku tak menyangka ibuku telah menantiku di lapangan sekolahku yang gelap gulita.
Ibu tampak gelisah. Aku mendatanginya dan ia menoleh ke mobil itu sambil menangis bahagia. Seakan hartanya yang paling berharga selamat dan masih utuh.
"Sayang, ibu sangat khawatir sama kamu," ucapnya sambil berlari mendekapku.
"Ibu, ibu gak marah lagi?" tanyaku dengan kaget.
"Gak Nak, Gak tau kenapa ibu gak pengen marah atau sedih ibu malah bangga sama kamu, ibu jadi inget sama ayahmu yang meninggal karena kebakaran saat kerusuhan di pabrik untuk menuntut haknya sebagai buruh. Dia adalah pejuang demokrasi sama sepertimu, tapi usiamu lebih muda. Kamu memang anak yang pemberani," ujarnya dengan pipi yang masih basah sembari tersenyum.
Ibu memelukku erat-erat seakan tak mau melepaskan pelukan hangatnya. Tapi aku sebenarnya masih tak mengerti mengapa ibu benar-benar tidak marah. Sampai akhir zaman perasaan ibu yang seperti itu lebih baik tetap jadi misteri.
Besok, aku harus menyiapkan diri untuk berdiri di depan tiang bendera saat upacara. Awalnya aku merasa menjadi jagoan yang tak terkalahkan, tapi saat merantau sehari di Jakarta, aku menyadari aku bukan siapa-siapa.
Kamar Atap Depok, 2019
(Cerpen ini sudah dimuat di www.republika.co.id, pada 19 Januari 2020)
Post a Comment