Pulang ke Ulee Lheue (Cerpen)
Pantai Ulee Lheue (Ilustrasi/foto: indonesia-tourism.com) |
Oleh Endro Yuwanto
Agam menatap nanar semak-semak di hutan belukar yang seolah mencibir nasibnya di negeri orang. Belukar rimbun itu berdiri angkuh seakan menertawai Agam yang harus tidur di atas gundukan kuburan Cina ditemani lolongan anjing malam. Tak ada alas yang empuk, apalagi bantal dan guling. Ia hanya tidur beralaskan kardus bekas. Belum lagi kalau hujan deras tiba-tiba turun, ia harus lari terbirit-birit mencari tempat berteduh.
Hutan belukar bukanlah pemandangan yang membuat suasana hati Agam teduh. Ia selalu rindu suasana kampungnya. Sebuah pantai nelayan yang luas. Pantai dengan debur ombak yang selalu ramah dan tak pernah mengejek nasibnya sebagai pedagang ikan. Jarang sekali terdengar lolongan anjing, karena warga kampungnya jarang yang memelihara anjing. Suara-suara orang mengaji lebih sering terdengar di mushala yang bertebaran di pemukiman nelayan.
Sudah setahun Agam rindu suara debur ombak. Ia juga selalu terkenang istrinya, Aminah, dan dua anak lelakinya yang masih mungil. Saat melihat dua anaknya berlarian menyongsong ombak kecil yang hadir di tepi pantai, ia selalu merasa begitu menikmati hidup, meski dalam himpitan kemelaratan. Anak-anak itu selalu ceria saat bermain pasir dan berlomba menghindari ombak kecil. Agam dan Aminah selalu mengembangkan senyuman saat menyaksikan kedua buah hatinya yang belum sekolah itu bermain lepas di tepi pantai.
Ah, setiap membayangkan debur ombak, Agam selalu menyesal mengapa terlanjur meninggalkan istri dan anaknya. Tapi ia tak bisa memendam penyesalan terlalu dalam. Ia sadar garis nasib telah memaksanya meninggalkan kampung. Ia pergi ke rantau bukan karena jenuh menjadi pedagang ikan. Ia pun tak merasa lelah mengais rezeki di kampung yang hasilnya hanya cukup untuk memberi makan dua kali sehari bagi keluarganya. Ia pergi lantaran selalu menjadi 'kambing-hitam' pertikaian antara pasukan TNI dan GAM.
Tak jarang Agam disangka sebagai simpatisan GAM sehingga beberapa kali ia harus mendekam dalam jeruji besi. Diintrogasi dan lalu dipukuli oleh para tentara seperti binatang. Setelah babak-belur dan memberi keterangan yang sebenarnya, ia baru dilepaskan. Kadang gerombolan GAM turun gunung dan menculiknya di tengah malam. Kelakuan gerombolan itu tak ubahnya seperti tentara. Mereka menginterogasi dan memukuli Agam karena menyangka ia mata-mata TNI. Hidup Agam seperti terombang-ambing di antara pertikaian dua kubu yang seakan tak pernah berujung.
Lolongan anjing malam kembali terdengar nyaring. Namun Agam sama sekali tak khawatir dengan lolongan itu. Bulu kuduknya justru berdiri dan merinding saat mendengar teriakan polisi diiringi suara peluit yang memekakkan telinga. Itulah sebabnya Agam selalu memilih tidur di atas gundukan tanah agar bisa melihat dengan jelas kedatangan polisi. Ia berusaha agar tak tertangkap.
Agam merasa tidur di atas kuburan atau di atas pohon lebih sering membuatnya aman. Ia tak perlu pontang-panting mencari perlindungan seperti pekerja-pekerja lain. Sering, keesokan harinya Agam tak lagi bisa menjumpai beberapa pekerja. Mereka tertangkap polisi.
Agam selalu berusaha agar tak tertangkap. Banyak cerita duka dari para pekerja yang tertangkap. Disekap di penjara selama berbulan-bulan. Bahkan bisa lebih lama lagi sampai menunggu jumlah kuota pemulangan, sekali buang 500 orang .
Agam dan pekerja-pekerja yang senasib dengannya memang menjadi makanan empuk polisi. Tak jarang meski bisa bebas dari tangkapan polisi, mereka harus membayar denda 100 ringgit. Bila sudah mendekam di penjara, para pekerja itu hanya mendapat jatah makan sekali sehari. Bahkan ada yang harus merasakan hukuman cambuk dengan rotan seperti kerbau dungu di tengah sawah.
Di Rawang, daerah pegunungan dan masih banyak hutan belukar, Agam menjadi kuli bangunan. Rawang berada cukup jauh di sudut Kuala Lumpur. Perjalanan menuju Rawang biasanya menggunakan kereta api dari ujung barat jalur Pelabuhan Klang sampai ke ujung timur jalur kereta api Rawang, yang lebih dulu melalui Kuala Lumpur.
Agam tak pernah lupa, ia berangkat ke Kuala Lumpur sebagai TKI legal tahun lalu. Ia bekerja di sebuah perkebunan kelapa sawit. Namun ia hanya menerima gaji pertama sebesar 200 ringgit untuk masa kerja 20 hari. Lantaran gajinya tak sesuai dengan yang dijanjikan, Agam memberanikan diri menghadap toukeh besar.
''Bos apa macam nih, gaji aku 200 ringgit. Mana cukuplah, aku ini jauh-jauh dari Indonesia datang ke sini sempat tinggalkan pekerjaan sebagai pedagang, karena orang PJTKI kasih tawaran gaji 1000 ringgit,'' cetus Agam di suatu pagi.
Agam hanya bisa pasrah ketika sang toukeh memberi jawaban sinis. ''Itu salah bangsa awak sendirilah. PT Indonesia kasih tipu, saya tak ada tipu, di sini semua TKI terima 10 ringgit sehari.''
Kebingungan mendera Agam, antara meneruskan pekerjaan atau berhenti dan memilih mencari pekerjaan lain. Ia lantas memilih berhenti. Namun, meski keinginannya dikabulkan, ia hanya menerima fotocopy paspor dari toukeh. Kala itu Agam tak peduli. Dalam benaknya hanya ada keinginan keluar dari area perkebunan sawit itu.
Di kemudian hari Agam baru sadar, hanya memegang fotocopy paspor berarti posisinya sebagai TKI legal sirna. Menjadi TKI ilegal berarti membuatnya berada dalam situasi tak menentu setiap waktu. Ia menjadi mangsa empuk bagi para toukeh dan polisi yang selalu memperlihatkan taringnya. Tapi ia berusaha tak peduli. Bersama teman sekampungnya, Uddin, ia lalu mencari peruntungan di Rawang.
Dari Rawang yang penuh jebakan razia, Agam melompat pindah ke Ampang untuk membantu menyelesaikan proyek gedung bertingkat 30 di depan menara kembar KLCC di pusat kota Kuala Lumpur. Agam merasa lebih nyaman di Ampang, karena rata-rata bangunannya tertutup. Para toukeh pun telah membayar uang keamanan pada polisi kerajaan. Sehingga semua pekerja, walaupun ilegal bisa bekerja dan tidur dengan tenang. Tidak lagi perlu lari, apalagi sembunyi. Agam pun mulai bisa berkirim kabar lewat surat dan telegram kepada Aminah. Ia juga sudah mulai lancar mengirim wesel sejak dua bulan terakhir.
Tapi hanya beberapa pekan Agam menikmati ketenangan. Perasaan gundah kembali mencuat. Bayangan kejar-kejaran dan intimidasi polisi kembali menghiasi pelupuk mata. Ia mendengar kabar, sebulan lagi Pemerintah Malaysia mencanangkan tekad melakukan razia besar-besaran terhadap TKI dan imigran ilegal. Berita razia bahkan sudah disebar besar-besaran di media massa.
Belum reda gundahnya mendengar isu razia, sehari kemudian Agam menerima surat dari Aminah di kampung. ''Bang kalau bisa lekas pulang, si Amin sakit keras kena demam berdarah. Pulang ya Bang. Kita di sini tak punya biaya buat pengobatan.''
Agam menghela nafas panjang. Tak ada pilihan baginya selain kembali pulang. Di dompetnya masih ada 2000 ringgit. Ia berpikir uang itu bisa digunakan untuk mengobati Amin dan sekalian mengurus paspor. Ia pun sudah rindu ingin bertemu Aminah dan si kecil, Ahmad.
Dengan sembunyi-sembunyi, Agam berhasil lolos hingga ke pelabuhan. Beruntung, ia bisa menemukan perahu motor yang memuat kain dan hendak menuju kampungnya, Ulee Lheue. Ia membayar 600 ringgit.
Perjalanan mestinya hanya berlangsung 40 jam. Namun, perahu motor yang panjangnya hanya sepuluh meter itu seperti siput yang berjalan di padang pasir. Sudah 60 jam perahu belum juga sampai tujuan. Beberapa kali perahu itu terombang-ambing dipermainkan ombak. ''Tak biasanya ombak di selat ini begitu besar,'' keluh Yani, sang pemilik perahu.
Mendekati pantai, ombak semakin mengganas dan menjelma menjadi gelombang menggunung. Laut seakan murka dan menumpahkan seluruh isinya ke daratan. Gelombang memperlihatkan sosok raksasa hitam pekat.
Agam, Yani, dan penumpang lain begitu ketakutan. Yani yang beberapa kali diguyur air laut mengaku kesulitan menemukan pantai. Yani tak bisa mengendalikan perahunya. Agam hanya bisa pasrah dan berdoa agar selamat dari gelombang yang menakutkan itu. Ia berpegangan erat di bibir perahu. Tiba-tiba ombak setinggi gedung menggulung perahu. Semuanya menjelma gelap.
Entah sudah berapa lama Agam pingsan. Ketika siuman, ia sudah berada di daratan. Tapi meski sejak lahir tinggal di Ulee Lheue, ia tak mengenali lagi di mana persisnya kampung nelayan. Ia hanya tahu tubuhnya tersangkut di pucuk pohon kelapa.
Perahu-perahu nelayan yang biasanya bersandar di tepi pantai tak terlihat lagi. Begitu pun deretan rumah warga yang dulu bertebaran di bibir pantai. Semuanya sirna. Yang tersisa hanyalah batang-batang pohon kelapa yang menjulang, di antara gelimangan mayat-mayat dan bangkai-bangkai binatang.
Agam meringis kesakitan. Kemeja yang dikenakannya sudah compang-camping. Bahunya sobek dan darah masih mengalir dari lengan kirinya yang terluka. Ia tak tahu darimana datangnya luka itu. Ia tak sempat memikirkannya. Pelan-pelan ia turun dari atas pohon. Di benaknya hanya ada pertanyaan, di mana istri dan anak-anaknya. Juga sanak-saudaranya yang menetap di Ulee Lheue.
Dengan tertatih-tatih Agam berjalan menjauhi pantai. Di perjalanan, ia bertemu seseorang yang berhasil menyelamatkan diri. Orang itu lelaki separuh baya. Lelaki itu sudah terlihat kelelahan, tapi tetap memaksakan diri mendorong gerobak kayu berisi lemari es. ''Ini hari ulang tahun istri saya,'' katanya kepada Agam. ''Pagi tadi saya pergi ke kota untuk memberi kado istimewa, lemari es ini. Saya juga membeli makanan istimewa untuk pesta makam malam ulang tahun. Saya belum sempat menikmatinya. Saya belum sempat bertemu istri saya. Sekarang milik saya satu-satunya yang tersisa hanyalah lemari es ini.''
Agam hanya bisa membisu dan memapah lelaki itu pergi dari situ. Ia lalu terus melanjutkan perjalanan ke arah kota. Agam sadar, kerusakan dahsyat akibat gelombang itu bisa membunuh seluruh warga di tepi pantai Ulee Lheue. Tapi ia berharap, Aminah dan anak-anaknya bisa selamat karena mukjizat.
Namun, harapan Agam pelan-pelan luruh seperti bukit pasir yang terkikis air. Di perjalanan ia lebih sering menemui ribuan mayat bergelimpangan. Tersangkut di atas pohon, terkapar di atap rumah, berserakan di pinggir trotoar, dan tertimbun bangunan runtuh. Lelaki, perempuan, ibu-ibu, kakek-kakek, nenek-nenek, anak kecil, bayi, polisi, dan tentara, semua tak bisa lepas dari gelombang.
Agam pun hanya bisa pasrah. Di perjalanan menuju kota, ia selalu mendengar orang-orang yang selamat saling bercerita, ''Anak saya sudah tak ada'', ''Istri saya sudah tiada'', ''Suami saya entah di mana'', ''Bapak dan ibu saya meninggal'', ''Adik saya jadi korban'', ''Kakak saya tak luput dari bencana'', ''Harta saya habis''.
Agam hanya bisa menengadah. Langit masih terlihat cerah. Namun di permukaan Ulee Lheue semua nyaris punah. Ribuan cerita duka akan terus mengalir dari mulut orang-orang yang selamat dari bencana tsunami. Termasuk dari dirinya.
Kemanggisan Utama Raya, Februari 2005
Post a Comment