Dia, My Aspie
Sebetulnya sudah lama saya ingin menulis tentang anak sulung saya. Tapi kok ya rasanya gimanaa gitu. Rasanya sulit buat saya merangkai kata yang pas untuk bercerita tentang dia.
Setiap menulis biasanya hanya akan berakhir dengan menggantung. Tulisan saya pun cenderung berputar-putar. Yang ujungnya akan saya biarkan hanya dalam bentuk draft.
Mungkin karena begitu banyak cerita tentang dia yang membuat saya kesulitan untuk memulai dari mana. Atau mungkin juga karena saya tak bisa untuk tidak melibatkan emosi saya dalam tulisan.
Ya emosi mungkin itu alasan yang paling kuat. Yang membuat saya selalu gagal menulis tentang dia.
Dia anak sulung saya, lelaki kecil yang sekarang beranjak remaja. Sudah mulai jerawatan. Mulai tertarik pada lawan jenis. Tubuhnya sudah melebihi tinggi tubuh saya. Sudah hampir setinggi ayahnya.
Dia anak sulung saya, lelaki kecil yang sekarang beranjak remaja. Sudah mulai jerawatan. Mulai tertarik pada lawan jenis. Tubuhnya sudah melebihi tinggi tubuh saya. Sudah hampir setinggi ayahnya.
Dia anak yang ramah. Sejak balita dengan gaya khasnya dia kerap menyapa orang duluan bila kami berjalan-jalan. Dia anak yang sangat penurut. Hampir tak pernah membantah. Dia yang sangat rapi dan teratur. Semua sangat terorganisasi.
Dia anak yang sangat tekun. Saat ini sedang tergila- gila dengan semua hal berbau sejarah. Baik sejarah dunia maupun sejarah nusantara. Banyak buku- buku sejarah yang sudah dilalapnya.
Ya dia yang di balik keramahannya sesungguhnya sangat kesepian. Dia yang dengan sifat penurutnya justru membuat hati ini sering merintih. Karena itu membuatnya meyerupai robot.
Dia anak lelaki saya, memang berbeda. Karena dia adalah penyandang asperger. Anak sulung saya memang penyandang asperger. Apa itu asperger mungkin tak banyak orang yang tau. Tapi kalau saya menyebut autisme mungkin akan lebih familiar di telinga.
Karena asperger sendiri merupakan kelainan neurologis yang masih masuk dalam spektrum autisme. Highfunction autism begitu bahasa kerennya. Sederhananya adalah autis kanan. Autisme dengan IQ rata-rata normal cenderung cerdas.
Begitu pun dengan dia. Anak lelaki saya memiliki IQ normal cenderung cerdas. Ajaklah dia berdiskusi. Pengetahuan umumnya luas. Apalagi kalau sudah bicara tentang sejarah. Saya yakin orang akan berhenti meremehkan dia.
Namun seperti pada umumnya penyandang asperger, anak lelaki saya memang memiliki kesulitan dalam hal sosialisasi. Dan kesulitannya ini lah yang membuat dia kesepian. Saya tahu itu walau dia tak pernah menyatakannya dengan jelas. Saya tahu bagaimana besarnya keinginan dia untuk berteman layaknya remaja lainnya. Tapi dia tak punya skill untuk itu. Bukan teman yang dia dapat malah bully-an, hinaan yang selalu dia terima.
Kesulitannya dalam berkomunikasi non-verbal merupakan pangkal semuanya. Dia memang kesulitan membedakan bahasa kiasan, sindiran. Dia polos, jujur selalu bicara apa adanya. Dia tak mampu membaca mimik wajah orang. Tak mampu membedakan wajah orang marah atau becanda.
Memiliki anak penyandang autisme rasanya seperti naik roller coaster dalam kehidupan nyata.
Terkadang harapan melambung, yakin semua akan baik-baik saja. Tapi tak lama harapan itu jatuh berkeping- keping.
Terkadang di awal hari semua berjalan normal. Tapi di ujung hari ada peristiwa yang sering kali menguras hati.
Bermain sepeda sendiri keliling kompleks tak jarang pulang dengan wajah penuh emosi. Berangkat shalat berjamah ke mesjid dengan hati riang, tiba waktunya pulang dengan sambil berteriak teriak
marah. Pergi sekolah dengan ceria. Pulang dengan wajah murung.
Ketika kecil dulu masih mudah bagi saya untuk tau apa yang terjadi padanya. Namun beranjak remaja semua sedikit berubah. Bila tak jeli melihat, saya tak kan tau apa yang dialami di luar rumah. Semakin besar semakin pandai dia menyembunyikan masalah. Hanya karena dia tak mau dianggap cemen. Nalurinya sebagai lelaki yang harus tangguh mulai muncul. Kadang membuat saya merasa sedikit berjarak dengannya. Bila tak dikorek-korek sering dia tak mau cerita.
Beberapa kali saya "kecolongan". Tahu-tahu saya ditegur keras oleh wali kelasnya saat terima rapor SMP. Bagaimana dia bersikap ngeyel pada guru SBK-nya. Yang selidik punya selidik semua itu karena guru tersebut rupanya sangat kasar dan cenderung menghina kelemahan motoriknya dengan mengatakan dia gila. Atau saat terima rapor juga di kelas 9 ini saya mendapat laporan dari wali kelasnya kalau ternyata dia sering menjadi bulan-bulanan beberapa orang teman sekelasnya.
Yang ironisnya bukan dia yang mengadukan bully-an tersebut melainkan salah seorang temannya yang tak tega melihat dia diperlakukan oleh anak-anak yang lain. Berbulan bulan dia menahan semuanya sendiri. Bagaimana tempat pensilnya dilempar-lempar. Botol minumnya diumpetin. Belum bullyian verbal. Sampai menahan pukulan dari beberapa anak tersebut. Dan saat saya tanya seberapa sering dia diperlakukan seperti itu? Jawabnya adalah setiap hari.
Ada bangga bercampur khawatir dalam hati. Bangga karena mentalnya ternyata sudah lebih terasah. Betapa ternyata saya lebih rapuh daripada dia menghadapi semua. Namun juga khawatir, sekuat apa dia kalau bullyian harus menjadi santapannya setiap hari.
Mereka yang membully, menghina, meneror memperlakukan dia seperti orang aneh untuk ditertawakan pasti tak tahu sakit dan dendam dalam hati saya. Karena mereka pasti tak tahu perlakuan mereka sesungguhnya meremukkan dia dari dalam. Bukan hanya tentang kepercayaan dirinya. Tapi juga harga dirinya.
Tak sekali dua kali dia mempertanyakan kenapa dia diciptakan? Apakah orang seperti dia pantas hidup di dunia? Mengapa Tuhan menciptakan manusia reject seperti dirinya?
Sungguh para pembully itu pasti tak tahu perjuangan orang tua Si Sulung untuk terus membesarkan hatinya. Selalu mencoba merajut kepingan-kepingan hatinya yang sering hancur karena tajamnya ucapan-ucapan orang.
Cobalah tanya pada semua orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK). Apakah yang paling mereka takutkan pada anak- anak mereka. Saya yakin semua jawabannya adalah sama: Masa Depan. Bagaimana masa depan mereka? Sanggupkah anak-anak itu survive dalam mengarungi hidup saat orang tua nya telah tiada.
Bagi yang tak mengalami pasti akan menganggap remeh perjuangan para orang tua anak berkebutuhan khusus. Bagaimana air mata kerap mewarnai hari-hari. Tidak, saya bilang begini bukan berarti minta untuk dikasihani. Tidak. Karena kami tidak butuh itu.
Tahu yang kami butuhkan? Anggaplah kami sama seperti yang lainnya. Karena anak ABK juga manusia hanya saja terlahir berbeda. Bila tak ingin jadi temannya, tidak membully dan menghina saja, sesungguhnya sudah sangat berarti bagi mereka.
(Dinar K Dewi)
kalau anak penderita asperger gitu, ada pantangan atau alergi makanan nggak mbak?
BalasHapuspernah baca di salah satu cerita di Wattapad, si tokoh utama dia juga penderita asperger,
Iya mbak, dulu pernah dideteksi di Bio-E, anak saya punya 32 alergi, termasuk makanan, seperti terigu, gula, ayam, dan semua makanan yang mengandung bahan pengawet.
Hapus