RajaBackLink.com

Waspada, Kurang Tidur Berpotensi Picu Penyakit Jantung

(Belum tidur/ilustrasi/foto: Pixabay)

Sudah sejak lama para peneliti meyakini kurang tidur dan kualitas tidur yang buruk berpotensi meningkatkan risiko penyakit jantung. Ini lantaran sebagian proses perbaikan tubuh, terutama pada jantung, terjadi saat seseorang tidur. Namun, alasan biologis yang mendasarinya belum jelas.

Kini, sebuah penelitian baru mengungkap mengapa kualitas tidur yang buruk bisa berimbas pada jantung dan pembuluh darah. Keyakinan para peneliti itu dipertegas dalam studi baru yang dimuat di Live Science.

Dalam penelitian yang dilakukan pada tikus, peneliti menemukan tidur yang terfragmentasi mengubah kadar hormon tertentu. Hal ini meningkatkan produksi sel-sel inflamasi di sumsum tulang. Peradangan ini berperan dalam pengembangan aterosklerosis atau pengerasan pembuluh darah karena penumpukan plak.

Kelompok tikus dibagi menjadi dua. Kelompok pertama berisi tikus yang dibiarkan tidur dalam waktu yang cukup, sedangkan kelompok kedua berisi tikus yang ketika tidur diganggu dengan alat yang bergerak secara otomatis melintasi bagian bawah kandang.

Hasilnya, tikus yang kurang tidur tidak mengalami perubahan berat badan atau kadar kolesterol dibandingkan dengan tikus yang cukup tidur. Namun, tikus yang kurang tidur memang memiliki plak yang lebih besar di arteri dan tingkat peradangan yang lebih tinggi di pembuluh darah, bila dibandingkan dengan tikus yang cukup tidur.

Hal ini menurut peneliti disebabkan karena tidur yang tidak nyenyak dapat mengubah kadar hormon hipokretin (juga dikenal sebagai orexin). Penurunan kadar hipokretin menyebabkan peningkatan kadar protein yang disebut CSF1 sehingga meningkatkan produksi peradangan sel darah putih di sumsum tulang. Peradangan ini memicu percepatan aterosklerosis.

Temuan yang dipublikasikan dalam Jurnal Nature, Rabu, 13 Februari 2019 ini memperlihatkan fakta bahwa tidur yang cukup dapat melindungi dari aterosklerosis. Sebaliknya, kualitas tidur yang kurang membuat kondisi semakin buruk. Namun demikian, karena penelitian dilakukan pada tikus, peneliti perlu mempelajari lebih lanjut temuan ini pada manusia.

(Dinar K Dewi)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.