Mencari Sekolah yang Pas, Ada Kalanya Kita Harus Kompromi dengan Anak
(Bunda dan Dita sudah menemukan sekolah yang dianggap terbaik bagi Dita sendiri) |
Sambil tetap menyiapkan sarapan di dapur yang memang tak jauh dari ruang TV, saya terus menguping rayuan maut si kecil pada ayahnya yang hanya menjawab hmm pada semua rayuannya.
Dan, belakangan rayuan itu semakin gencar dilakukannya. Hampir setiap hari saat bangun pagi jelang berangkat sekolah ia melancarkannya. Apakah rayuannya berhasil? Tentu saja tidak. Dengan otoritas sebagai orang tua, saya dan suami selalu berhasil memaksanya untuk tetap berangkat sekolah walau dengan wajah cemberut.
Waktu itu, bagi kami putri kecil saya itu sudah tidak bisa lagi semau gue untuk urusan sekolah. Mengingat ia sudah bukan lagi di TK melainkan sudah masuk jenjang sekolah dasar alias SD.
Namun, berbagai peristiwa yang mengiringi rengekannya setiap pagi akhirnya menggoyahkan hati kami. Wajah lelahnya tiap pulang sekolah, kebiasaannya yang sering minta izin ke toilet saat jam pelajaran berlangsung, hingga teriakannya di suatu sore saat saya memintanya kembali mengaji di TPA setelah lama membolos..
“Aku gak mau ngaji. Aku mau main. Aku belum dapet main,”. Jawabannya serasa menusuk hati saya saat itu. Seketika saya hanya bisa beristighfar. Saya akhirnya menyadari ketidakbahagiaannya beberapa waktu belakangan.
Setelah berdiskusi panjang dengan suami, akhirnya kami mengambil keputusan untuk memindahkan sekolahnya. Tentu setelah kami bertanya langsung padanya apakah ia mau pindah sekolah. Mulai-lah kami kembali berburu sekolah, ketika matanya terlihat berbinar saat kami menawarkan opsi tersebut.
“Aku mau sekolah yang belajarnya sebentar,” begitu syarat yang diajukannya pada kami.
Ternyata jam belajar yang padat dan panjang menjadi momok bagi putri saya. Karena itulah Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) seperti selama ini putri kecil saya bersekolah langsung kami coret dari list.
Padahal kalau mau jujur, di daerah tempat tinggal kami, SDIT tumbuh bak jamur di musim hujan. Dari yang abal-abal, lokasi dalam perkampungan, biaya masuk dan SPP murah tapi fasilitas seadanya. Ruang kelas pengap, toilet kurang higienis sampai lapangan yang sempit. Yang cukupan biaya masuk dan SPP terjangkau untuk kelas menengah sampai yang elite dengan biaya masuk hingga puluhan juta dan SPP yang juga berkejut-kejut dengan fasilitas sangat memadai dan iming-iming kelas full AC dan metode bilingual, semua tersedia.
Tapi karena putri saya sudah menyerah dengan SDIT, kami sudah pasti tak melirik satu pun di antara mereka. Sasaran kami selanjutnya adalah sekolah alam yang jaraknya tak jauh dari rumah. Yang hanya butuh jalan kaki untuk menuju ke sana. Yang juga kebetulan almamater anak sulung saya. Tapi si kecil menggeleng tegas saat sekolah alam kami tawarkan.
Padahal menurut saya, dari segi pembelajaran sekolah alam merupakan sekolah yang menyenangkan bagi anak-anak. Metode sekolah alam nyaris tak memberikan tekanan pada anak. Anak belajar langsung di alam. Tak banyak berteori. Hingga tak perlu buku-buku tebal yang membebani tulang punggungnya. Setiap anak dihargai keunikan personalnya.
Rasanya hampir tak ada anak yang menolak sekolah di sekolah alam. Karena bersekolah tak ubahnya belajar yang dibalut sambil bermain. Hingga walaupun durasi bersekolahnya juga cukup panjang dari pagi hingga sore hari, menjadi tak berarti.
Namun dugaan saya meleset. Sekolah alam pun ditolaknya. Mungkin berkaca dari pengalaman kakaknya bersekolah di sekolah alam, dia merasa tak cocok di sana. Karena memang sejak kecil putri saya ini termasuk anak yang gampang jijik dengan tanah, lumpur dan sejenisnya. Belum lagi kelengketannya dengan saya yang pasti akan membuat dia berat kalau harus pergi outing dengan pihak sekolah. Mengingat outing merupakan menu wajib dalam kurikulum sekolah alam.
SDIT sudah tak masuk dalam kriterianya. Pun sekolah alam yang ditolaknya mentah-mentah. Pilihan terakhir yang tersedia di dekat rumah hanyalah tinggal SD negeri. Akhirnya ke sanalah kaki kami melangkah.
Dita mengenakan seragam SD Negeri |
Tak mau salah memilih lagi, kami mengajak si kecil untuk survei ke SD negeri terdekat. Eh ndilalah..dia langsung oke ketika melihat suasana SD negeri dekat rumah tersebut. SD negeri dengan bangunan tua yang sederhana ternyata bisa menarik minatnya. Entah apa yang ada di pikirannya ketika ia mengiyakan pertanyaan kami.
Dan sungguh pilihannya di SD negeri membuat suami saya tersenyum semringah. Gratis boo..jadi ia tak harus merogoh koceknya dalam-dalam untuk memindahkan sekolah putri kami. Karena sebetulnya, suami saya sempat membayangkan berapa besar lagi uang yang harus dia keluarkan untuk pindah sekolah. Hanya dengan membayar uang seragam sebesar 600 ribu rupiah putri kami sudah bisa bersekolah.
Bersekolah di SD negeri ternyata banyak membawa perubahan pada gadis kecil saya. Dia menjadi lebih semangat bersekolah. Energinya pun tak terlihat habis ketika pulang sekolah. Jam pelajaran yang hanya 2,5 jam per hari menjadi sangat ramah untuknya.
Ini terbukti dari peringkat kelas yang berhasil diraih ketika kenaikan kelas dari kelas 1 ke kelas 2 kemarin. Surprise tentu, ketika wali kelasnya mengatakan ia masuk 3 besar di kelas. Karena kebetulan kami sebenarnya bukan orang tua yang terlalu ngoyo pada “ranking”.
Perjalanan kami dalam memilih sekolah memberi banyak pelajaran bagi saya pribadi. Ternyata apa yang menurut orang tua baik belum tentu tepat buat anak. Terlebih bila anaklah yang harus menjalaninya. Begitu pun yang terbaik untuk anak yang satu, belum tentu pas untuk anak yang lain.
Ternyata benar kata orang-orang bijak yang pernah saya dengar. Setiap anak adalah unik. Dan kita harus menghargai keunikannya. Orang tua ada kalanya harus mau berkompromi dengan anak. Karena anak bukanlah diri kita dalam versi mini.
(Dinar K Dewi)
nice sharing bunda. Ingatlah selalu bahwa kita sedang mendidik anak. Tetaplah konsisten dan pantang menyerah
BalasHapusberarti dalam memilih sekolah itu disesuaikan aja dengan anaknya ya... dan ternyata gak semua anak cocok bersekolah di sdit. makasih mba sharingnya
BalasHapus