Toilet Training untuk Anak, Semua Indah Pada Waktunya
Lewat usia dua tahun, putri kecil saya masih sangat tergantung pada popok instannya. Jujur saja sebagai seorang ibu, saya mulai agak khawatir soal kebiasaannya itu. Biasalah, seperti ibu pada umumnya juga, saya masih kerap membandingkan kemampuan anak saya dengan anak lain.
Bukan tak tahu atau tak paham perihal teori parenting yang menabukan membandingkan-bandingkan anak dengan yang lainnya. Tapi tetap saja ketika para ibu dilingkungan saya sedang "ngumpul" dan membicarakan kelebihan anaknya masing-masing, naluri berkompetisi saya ikut terusik.
Sampai sakit mata saya, sampai pening kepala saya memelototi setiap halaman referensi yang saya baca, rasanya semua yang dianjurkan dilakukan sudah saya kerjakan.
"Alhamdulilah, si A anak saya sudah Iqra 6," seorang ibu membanggakan anak perempuannya. Ketika itu, saya hanya tersenyum, "aman," batin saya. Lah anaknya sudah berusia 6 tahun jadi wajarlah sudah punya pencapaian seperti itu.
Seorang ibu yang lainnya pun tak mau kalah, "kalau anak saya sudah hafal hampir semua surat-surat pendek berikut artinya,". Mendengar nada bangga ibu itu tentang anaknya, masih belum mengusik saya. Mengapa? Anaknya sudah berusia 5 tahun. Masih lebih tua tiga tahun di atas usia gadis kecil saya.
Tapiiii....ketika ibu lainnya menceritakan dengan bangganya perihal anak lelakinya yang sudah bisa pipis dan pup sendiri ke toilet, benar- benar serasa mencubit saya. Iri? Bisa dibilang begitu. Karena usia anak lelakinya hanya terpaut hitungan bulan dari gadis kecil saya. Waduh, si Azzam yang hebat, atau anak saya yang terlambat ya? Pertanyaan itu terus mengusik saya sampai kumpulan ibu- ibu rempong itu dibubarkan oleh suara adzan Maghrib yang berkumandang.
Dan, begitulah antara iri, panik atau perasaan tak mau kalah, saya bulatkan tekad untuk sesegera mungkin memberlakukan toilet training pada putri kecil saya.
Langkah pertama yang saya lakukan apalagi selain buka mbah Google untuk cari referensi soal toilet training. Walaupuun kalau dipikir, sebenarnya cukup ironis bagi saya. Karena gadis kecil cantik saya ini bukan lah anak pertama saya. Hingga seharusnya saya tak perlu lagi kalang kabut melahap semua referensi dari mbah Google perihal toilet training ini. Sudah punya jam terbang gitu lo.
Tapi sayangnya jam terbang saya nyaris tak berarti apa-apa bagi gadis kecil saya. Sebenarnya saya bukan belum pernah mencoba melatih dia. Namun kegagalan selalu yang saya dapatkan. Entah di mana kesalahan yang saya lakukan. Karena semua yang pernah saya terapkan untuk si sulung selalu mentah bila saya terapkan padanya.
Mulai dari mengajak dia ke toilet setiap saya mau pipis, mengajak dia ke toilet setiap satu jam sekali untuk ditatur sampai membandingkan dia dengan teman sepermainannya yang sudah sangat mahir ke toilet sendiri. Mulai dari cara halus setengah merayu sampai terkadang nada tinggi pun terlepas tak sengaja karena emosi. Tetap saja gadis kecil saya tak juga mau tertib buang hajat di toilet.
Hingga akhirnya saya menyerah dan kembali memakaikan popok instan yang sempat saya lepaskan selama periode toilet training waktu itu.Karena itulah saya merasa sangat perlu untuk kembali membuka-buka mbah Google untuk sekedar tambah ilmu sekaligus mencari kesalahan yang mungkin saya lakukan saat toilet training kala itu.
Sampai sakit mata saya, sampai pening kepala saya memelototi setiap halaman referensi yang saya baca, rasanya semua yang dianjurkan dilakukan sudah saya kerjakan.
Serasa buntu dan sedikit hilang akal saya dalam menghadapi "bebalnya" putri kecil saya. Sampai akhirnya dengan berat hati kembali saya kibarkan bendera putih untuk yang ke dua kalinya.
Oke, baiklah saya kalah lagi kali ini, tapi saya yakin saya akan temukan cara untuk "memaksa" si kecil, batin saya saat itu.
Tak terasa waktu berlalu, beberapa bulan telah terlewati dari upaya terakhir saya untuk melatih toilet training si kecil. Putri kecil saya tampak masih nyaman dengan popok instannya dan saya pun nyaris melupakan ambisi saya untuk menertibkan dia.
Sampai suatu hari kami sekeluarga berekreasi ke sebuah peternakan sapi dan kambing yang tak jauh dari rumah. Tempat rekreasi murah meriah bagi keluarga sederhana seperti kami. Namun membawa manfaat yang tak murah bagi saya pribadi. Bagaimana tidak, karena dari rekreasi di situlah putri kecil saya akhirnya menyerah untuk tidak lagi pipis atau pup sembarangan.
Surprise, tentu saja itu yang saya rasakan. Cukup hanya dengan melihat seekor sapi sedang pipis dan pup, si bungsu saya akhirnya berujar, "bunda, aku mau pipis dan pup di kamar mandi aja,soalnya aku kan bukan sapi," . Ya, sesederhana itu, tanpa paksaan, tanpa rayuan, tanpa emosi, gadis kecil saya akhirnya mau dengan rela melepas popok instannya. Yang luar biasanya, tanpa harus repot- repot saya latih toilet training lagi, dia bisa buang hajat ke toilet sendiri.
Aneh? Tidak, saya menyebutnya unik. Dari persoalan sederhana seperti toilet training yang sayangnya sempat tak sederhana saya menyikapinya, ternyata jalan keluarnya juga sangat sederhana. Seperti kata pepatah, "Semua akan indah pada waktunya."
(Dinar K Dewi)
(Dinar K Dewi)
good sharing.. Anakku bulan depan mau tahun tapi masih ketergantungan dgn popok jga.. blum mandiri soal BAB... boleh ditiru tips dan triknya nih.. kapan2 mau ajakin Azka jalan2 melihat-lihat peternakan sapi atw kambing.. thanks sharingnya bunda. Salam kenal
BalasHapusTerima kasih sudah berbagi Mbak. Saya jadi ngerasa tidak sendiri soal toilet training ini hihi
BalasHapuswah anaknya mau toilet training dengan inisiatif sendiri ya, mbak. anakku juga nih umurnya 2 tahun masih bingung gimana mentaturnya. kadang dia ogah dipakaikan pospak tapi masih belum bisa bilang kalau mau pipis.
BalasHapusTerima kasih kalau ternyata coretan saya bisa membawa manfaat ya bunda-bunda semua, salam kenal
BalasHapus